7. Diusir

310 82 9
                                    

Qaishar tahu bahwa Qafiya tidak ingin merepotkannya, mungkin juga gadis di hadapannya itu tidak enak pada Nihla. Memang benar jika saat ini ia mengucap talak maka hubungan mereka akan berakhir. Lalu, mereka akan menjadi orang asing tanpa status apapun lagi.

"Kamu punya ayah?" tanya Qaishar.

Gadis di hadapannya menggeleng sembari meremas jemari, seolah pertanyaan itu ikut meremas hatinya.

"Kalau ibu?"

"Punya."

"Di mana ibumu?"

Qafiya mengigit bibirnya. "Aku sudah dewasa, gak perlu ibu."

"Bahkan seorang nenek pun masih membutuhkan ibunya, jadi sudah jelas bahwa ibumu membuangmu."

Kalimat itu memang kejam, tapi Qaishar ingin menyadarkan Qafiya bahwa di dunia yang kejam ini, hanya Qaishar yang dia punya.

"Jahat banget sih mulutmu," ucap Qafiya.

"Aku bicara fakta."

Sebenarnya, Qaishar tidak ingin Qafiya berada di sisinya, dia yang sekarang belum bisa melindungi siapapun.

Suasana menjadi hening, gadis itu tampak berpikir.

"Aku kasih waktu satu bulan, setelah itu kamu harus memutuskan, mau kuliah atau jadi ibu rumah tangga."

Qaishar yakin Qafiya akan memilih kuliah, mereka tidak saling cinta, jadi mana mungkin memulai rumah tangga.

Keesokan harinya mereka pergi ke Jakarta, Qafiya minta diantar ke rumah ibunya. Katanya kangen ibu.

"Kamu gak usah ikut masuk, katanya kamu mau ketemu orang tua angkatmu? Cepat pergi sana."

Qafiya mendorong Qaishar ke mobil, paman yang mengantar mereka tidak turun, hanya menurunkan jendela sembari mengawasi sekitar.

"Baiklah," ucap Qaishar.

Mereka tidak saling mengenalkan ke orang tua, cuek dengan urusan masing-masing. Qaishar langsung masuk mobil lagi. Pergi meninggalkan rumah ayah barunya Qafiya.

Gadis itu membunyikan bel, seseorang membukakan pintu, pria berbadan besar dan kumis tebal. Keningnya berkerut melihat Qafiya.

"Mau apa ke sini?" tanya pria itu.

"Aku mau ketemu Mamaku," jawab Qafiya.

"Kamu mau ngrengek tinggal di sini lagi? Saya tidak akan mengizinkan."

Tangan Qafiya mengepal. Tatapannya tajam. Tapi pria dihadapannya tidak gentar. Malah memasang badan.

"Aku gak kayak dulu, aku gak butuh dibiayai sama Om. Aku ke sini cuma kangen sama Mama."

"Alasanmu basi, pasti kamu akan menceritakan kehidupan sulitmu ke Mamamu supaya dia iba dan membujukku menampungmu. Ingat, ayah tiri tidak ada kewajiban menafkahi anak tirinya. Bukankah di pesantren kamu diajari itu?"

Alasan itu yang membuat dia terpaksa tinggal dengan pamannya, padahal dia sudah dewasa dan bisa mencari uang sendiri. Tapi para orang dewasa yang sok tahu agama menentang dia bekerja. Katanya, keluarga dari pihak ayah, alias paman yang akan menanggungnya.

Qafiya tersenyum miris, menanggung apanya, paman juga buru-buru melemparnya untuk menikah demi tidak bertanggung jawab lagi. Ntah itu menikah dengan Gus atau orang lain, yang pasti paman dan istrinya tidak ingin menampungnya lebih lama.

Qafiya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Aku gak peduli sama duit Om, Om jangan merasa sok kaya, Om gak mungkin bisa menafkahiku, Om kan miskin."

"Anak kurang ajar!"

Suara tamparan keras terdengar, terasa perih hingga Qafiya memegang pipinya sendiri. Kadang gadis itu berpikir bagaimana nasip ibunya tinggal bersama pria yang ringan tangan ini.

"Pergi kamu dari sini!" Teriak ayah tiri itu lagi.

Belum Qafiya membalas, ibunya keluar bersama anak kecil, terkejut melihat Qafiya yang menatap ayah tirinya tajam.

"Fiya? Ngapain kamu ke sini?"

"Ajarin anak kamu yang gak tahu sopan santun ini!" Pria itu mendengus kesal, berbalik dan masuk rumah dengan menutup pintu dengan keras.

"Kan udah Mama bilang jangan ke sini, kenapa kamu masih ngeyel? Pamanmu mana? Dasar orang itu gak bertanggungjawab!"

"Aku cuma pingin ketemu Mama."

"Buat apa ketemu, Mama lagi repot. Kamu jangan ke sini lagi, kamu nurut sama pamanmu, ini Mama kasih ongkos pulang ke Malang."

Mama mengambil uang dari dasternya, memberikan dua puluh ribu ke tangan Qafiya. Ntah apa yang dipikirkan wanita itu, dia langsung berbalik menyusul suaminya tanpa memberikan waktu pada putrinya untuk menjawab.

"Ma-!" Qafiya menahan Mamanya masuk.

"Apalagi? Udah pergi sana, jangan bikin Mama susah, ayah tirimu itu gak bakal mau nampung di sini, bukannya pamanmu udah ngajarin kalau ayah tiri tidak wajib menafkahi anak tirinya. Kamu yang udah pernah mondok pasti lebih paham dari Mama."

"Tapi bukan berarti kita putus hubungan kayak gini, Ma."

"Mama juga gak pingin kayak gini, kamu tahu kan Mama sayang sama kamu, ini juga demi kebaikan bersama."

Mama menutup pintu, lalu terdengar suara perdebatan di dalam. Qafiya mengembuskan napas berat. Sepertinya kehadirannya memang membuat Mamanya susah.

Dia memasukkan uang dua puluh ribu itu ke dalam dompet, di sana ia melihat kartu dari Qaishar. Ia segera menutup dompet dan berjalan menjauh dari sana.

Dia tidak memiliki tujuan lagi, teman-temannya banyak yang kuliah di luar kota, mereka yang berasal dari SMA swasta unggulan adalah orang-orang kaya dan berprestasi. Qafiya tidak punya muka menemui mereka dalam keadaan luntang lantung seperti ini.

"Diusir?"

Pertanyaan itu membuat Qafiya menoleh, ada Qaishar yang ternyata tidak pergi.

"Kenapa kamu masih ada di sini?"

"Feeling aja kamu bakal diusir."

Bibir Qafiya langsung manyun.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang