18. Bimbang

325 92 23
                                    

Qaishar tahu bahwa Qafiya sangat menarik, tak mungkin pria yang menyukai gadis itu hanya dirinya. Awal melepas Qafiya kuliah ia sangat khawatir, bagaimana jika Qafiya jatuh cinta dengan pria lain?

Saat itu Qaishar tidak ada pilihan dan hanya bisa terus berdoa pada Allah, supaya hati dan raga Qafiya selalu terjaga. Sama seperti hati dan raganya.

Dia menyerahkan rasa cintanya kepada pemilik alam semesta, berharap takdir akan menuntun Qafiya kembali padanya apapun yang terjadi.

"Aku emang bilang bakal bertanggung jawab, bahkan saat kamu menikah lagi aku juga bakal tetap bertanggung jawab atas semua perbuatanku yang udah ngrusak nama baikmu, tapi untuk bersama, aku takut."

"Apa yang buat kamu takut?"

Kali ini Qafiya terdiam, memandang mata Qaishar dengan penuh kebimbangan.

"Hidupku lebih rumit dari yang kamu bayangkan, biar aku mikir dulu," ucap Qafiya lagi.

Saat ini tidak ada yang bisa Qaishar lakukan, memaksa hanya akan membuat hubungan mereka buruk. Qaishar mengembuskan napas berat, ia mengangguk. Bibirnya tersenyum simpul dengan pandangan yang sendu.

Tangannya terulur, memperlihatkan luka bakar di telapak tangan.

"Tolong obati ini," pinta Qaishar.

Mata Qafiya langsung melotot, dia segera memegang tangan Qaishar dan melihat luka itu lebih dekat.

"Kenapa bisa kayak gini? Aku kan udah bilang hati-hati."

Mendengar rasa khawatir Qafiya, senyum muncul di sudut bibir Qaishar. Hatinya senang sekali. Ia sampai tidak menyangka bisa menahan rasa rindu sampe bertahun-tahun.

Bunda pernah bertanya kenapa dia lebih memilih Qafiya dibanding Nihla.

"Padahal Nihla sudah banyak berkorban untukmu, bahkan dia hampir mati demi kamu. Kenapa kamu malah pilih Qafiya yang baru kenal?"

Bunda kecewa dengan keputusan Qaishar.

"Aku suka Qafiya karena dia punya pendirian dan hanya memikirkan diri sendiri, dibanding wanita yang tidak punya tujuan hidup seperti Nihla, aku lebih suka wanita ambisius dan gak gampang goyah."

"Nihla bukan gak punya tujuan, dia mencintaimu, makanya rela melakukan apapun demi kamu tujuannya."

"Nihla berhijab karena aku, karena menuruti keinginan Bunda, dia tidak punya cita-cita untuk dirinya sendiri, bahkan dia gak peduli keluarganya khawatir padanya. Dia hanya menginginkanku karena ambisi, bukan cinta."

Saat itu Bunda tidak bisa berkata lagi, keputusan Qaishar sudah bulat. Setelah Qafiya pergi dari rumah itu. Malamnya mereka mendatangi rumah Nihla.

Mereka berterus-terang.

"Kamu tega banget, padahal aku sangat menyukaimu."

Nihla sangat patah hati, dia mengamuk dan membanting barang-barang di ruang tamu itu. Orang tuanya sangat khawatir tapi tidak memaksa Qaishar menerima Nihla.

Malah orang tuanya berterimakasih karena Qaishar menolak Nihla. Dari pada terkekang obsesi, memang lebih baik Nihla patah hati.

"Kami akan mengurus Nihla, lebih baik kalian pulang saja." Papanya Nihla tidak memedulikan Nihla yang mengamuk di belakangnya.

"Maafkan kami, padahal Nihla sudah seperti anak saya sendiri, tapi malah-"

"Kata siapa Nihla anak kamu? Hanya karena Nihla sering nginep di rumahmu dia jadi pembangkang seperti ini, memang lebih baik kalian gak usah berurusan lagi sama Nihla." Ibunya Nihla dari dulu memang tidak suka Bunda.

"Ayo, Bun. Kita pergi." Qaishar beranjak.

Nihla yang sedang mengamuk melihat Qaishar pergi langsung mengarahkan tongkat golf padanya.

"Aku udah berkorban demi kamu, tapi kamu malah berkhianat!"

Tongkat itu melayang ke kepala Qaishar, pemuda itu tidak melawan dan tidak beranjak sedikitpun. Badannya sedikit terhuyung ke depan karena pukulan.

Darah menetes dari kepala ke wajah, Qaishar hanya menyekanya. Semua orang berteriak, termasuk Nihla, tongkat golf itu jatuh.

"Ke-kenapa kamu gak ngehindar?" tanya Nihla.

"Apa dengan ini hutangku padamu lunas?" tanya Qaishar. Darah semakin banyak keluar.

Nihla tidak bisa berkata-kata, kakinya lemas dan terjatuh ke lantai. Papa Nihla panik dan segera mengambil kunci mobil, dia mengantar Qaishar ke rumah sakit. Di sana pemuda itu mendapatkan 5 jahitan.

Luka itu masih ada sampai sekarang, saat berhadapan dengan Qafiya, Qaishar memegang kepalanya, tepat di luka yang kadang masih terasa nyeri.

"Ayo aku obati tanganmu dulu," ucap Qafiya menarik Qaishar duduk.

Gadis itu sangat telaten.

"Sakit gak?" tanya Qafiya ketika mulai mengobati.

Qaishar menggeleng. Dari kecil dia sudah sering merasakan sakit, jadi ini tidak seberapa.

"Lain kali hati-hati, nyelametin orang emang penting, tapi lebih penting nyawa sendiri."

Hal yang disukai Qaishar dari Qafiya adalah tetap tegak walaupun tidak punya siapapun. Dia tidak goyah dan terus maju meskipun tidak ada orang yang mendukungnya.

"Baiklah," jawab Qaishar.

Selesai mengobati mereka keluar tenda, berjalan beriringan menuju pengungsi yang baru datang. Di sana banyak pekerjaan yang menanti.

"Tiga hari lagi perbannya diganti."

"Apa aku harus mengunjungimu lagi?"

"Iya."

"Emangnya gak bisa diganti setiap hari?"

"Gak perlu, tiga hari sekali cukup."

"Aku ingin mengunjungimu setiap hari."

Qafiya langsung terdiam.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang