4. Tunangan Qais

586 91 13
                                    

"Nih, hapemu." Qaishar mengulurkan ponsel itu pada Qafiya.

Gadis itu menatap mata Qaishar yang tajam, alis tebal dan rambut hitam lebat sedikit panjang bagian poni. Padahal Qafiya yakin pria di hadapannya ini bukan tipenya, tapi kenapa sekarang Qaishar keliatan sangat tampan?

Cowok alim bersarung kumuh, ditambah kemana-mana mengantongi kitab kecil, Qaishar sangat cupu dan kampungan. 100% Qafiya yakin Qaishar bukan seleranya.

"Kenapa gak diambil? Gak mau?" tanya Qaishar memecah lamunan gadis itu.

Tidak. Qaishar yang di hadapannya sekarang bukanlah pria yatim miskin yang kumal dan kampungan. Dia kaya, pakaiannya keren, gaya rambutnya tanpa peci juga kekinian.

Pasti itu yang membuat Qaishar terlihat sangat tampan.

"Ah, iya. Makasih."

Kotak berisi ponsel itu ia peluk, sudut bibirnya mengembang. Dia merasa senang.

"Kalau aku udah punya uang, nanti aku balikin duitmu."

"Gak usah, memenuhi kebutuhanmu itu kewajibanku."

Qaishar mengambil salah satu kartu dari dompetnya, mengulurkan pada Qafiya.

"Pin-nya hari kemerdekaan," lanjut Qaishar.

"Kenapa ngasih aku?"

"Kamu gak punya uang 'kan?" tanya Qaishar balik.

Mungkin karena setengah tahun ini kehidupannya sangat miskin di pesantren, bisa memegang ATM lagi terasa mendebarkan. Qafiya merasa langsung jatuh cinta pada Qaishar karena kartunya.

"Ehem, aku cuma pinjem." Qafiya menerima dengan menutupi rasa senang.

Qaishar tidak menanggapi, ia berjalan duluan keluar ke tempat parkir. Langkahnya yang panjang membuat Qafiya harus sedikit berlari untuk mengimbanginya.

Sepanjang berjalan Qafiya melihat ponsel dan kartu itu berkali-kali. Sulit sekali untuk menyembunyikan rasa senangnya. Ia merasa keputusannya untuk keluar pesantren adalah hal benar.

Katanya, hanya orang terpilih yang bisa menjadi Bu nyai. Dia tidak mau menjadi orang terpilih dan menanggung tanggung jawab seberat mengurus pesantren.

Perjalanan ke bandara dilanjutkan, tak disangka mereka memakai kelas bisnis. Qafiya kini sangat percaya kalau Qaishar sangat kaya. Pamannya benar-benar baik menikahnya dengan Qaishar.

"Kalau aku numpang di rumahmu bentar, gak papa kan? Habis aku dapat kerjaan iklan lagi, ntar aku langsung pindah."

Qafiya mendekat ke Qaishar yang sibuk dengan bukunya. Pria itu menoleh dengan kening berkerut.

"Iklan?"

"Iya, aku bintang iklan loh. 'Es tung tung enak dikunyah' aku pernah ngiklanin es krim itu pas masih kecil, viral banget loh, masak kamu gak tahu."

Qafiya menunjukkan wajahnya yang putih dan cantik, senyumnya merekah seolah ingin membuat Qaishar kagum dengannya.

Hanya saja dia lupa, Qaishar bukanlah orang yang akan memuji untuk hal seperti itu. Kini mata pria itu malah menatapnya aneh. Kepalanya menggeleng. Pertanda tak pernah mendengar iklan yang Qafiya sebutkan.

"Gak, kamu gak boleh kerja menjual badan lagi."

"Jual badan?!" tanya Qafiya sedikit teriak.

Orang-orang sampai melihat ke arah mereka, Qaishar berdehem dan kembali membaca bukunya.

"Emang uang yang aku kasih kurang?"

"Bukannya itu, tapi aku pingin kerja terus--"

Qaishar tidak mendengarkan, ia malah memejamkan mata dan menaruh buku di atas wajahnya. Sangat menyebalkan karena tak menanggapi gadis itu lagi.

Tak ada yang bisa dilakukan Qafiya, walaupun hanya nikah siri, tapi dia tetap butuh izin Qaishar untuk melakukan sesuatu.

Setelah pesawat mendarat, seorang pria berbadan besar menjemput mereka, membawakan koper Qaishar dan menunduk hormat padanya.

"Sekarang anda sudah dewasa, almarhum tuan besar pasti bangga."

"Bangga buat apa, selain tumbuh besar, aku gak punya prestasi apapun."

"Tumbuh besar tanpa mati merupakan prestasi, ngomong-ngomong gadis cantik ini siapa?"

"Dia ... istriku."

... Semua orang langsung terdiam, Qaishar berdeham, sementara Qafiya pura-pura sibuk melihat tasnya. Sementara pria itu terheran-heran.

"Istri? Bukannya anda sudah--"

"Ceritanya panjang. Yang penting kita pulang dulu."

"Pulang ke Mama atau Bunda?" tanya Paman.

"Bunda."

Paman memberikan sebuah kacamata hitam, Qaishar langsung memakainya, ia berjalan di depan, paman di belakang menarik koper dan Qafiya menggendong tasnya, berjalan cepat berusaha mengimbangi dua pria di depannya.

Sekarang Qafiya merasa tidak kenal kenal Qaishar sama sekali, pria yang kemarin seperti santri miskin, kini menjelma menjadi tuan muda kaya raya.

Mereka naik mobil hingga sampai di sebuah rumah di tengah perkebunan, rumah sederhana dua lantai, rumah ini jauh dengan tetangga. Udaranya segar dan banyak bunga di halamannya.

Saat masuk ke terasnya, seorang perempuan paruh baya keluar bersama seorang gadis cantik. Mereka terkejut melihat Qafiya.

"Assalamualaikum," sapa Qaishar, ia salim ke wanita bercadar yang langsung memeluk Qaishar.

"Bagaimana kabarmu, Nak? Sudah hampir tiga tahun kita tidak bertemu."

"Qais baik Bun, Bunda sendiri sehat?"

"Alhamdulillah sehat, lalu siapa gadis yang kamu bawa ini?"

Semua tatapan mata tertentu pada Qafiya, terutama gadis berhijab merah yang berada di samping Bunda.

"Dia ... gadis yang diamanahi Pak Kyai untuk Qais jaga," jawab Qaishar.

"Maksudnya? Dijaga gimana?" tanya Bunda lagi.

"Pak Kyai menyuruh Qais menikahinya dan menjaganya."

"Qais!" Bentak wanita berhijab merah itu, matanya berkaca-kaca, Qaishar melihat ke arah lain, tak berani bertatapan dengannya.

"Maksudnya ini apa? Trus gimana sama aku?" tanya gadis itu.

"Nihla, tenang dulu. Biar Bunda yang bicara." Bunda memegang tangan Nihla yang bergetar.

Gadis bernama Nihla menunjukkan cincin yang melingkar di jari manisnya, air mata tertahan. "Tiga tahun aku nunggu kamu, sekarang kamu pulang bawa istri, maksudnya ini apa? Qais, kamu jahat banget sama aku."

Qaishar bergeming, sementara Qafiya sangat terkejut, tak menyangka jika Qaishar sudah punya tunangan. Pantas saja dia bersikap dingin pada semua santriwati.

"Waduh, aku benar-benar ngrusak hidup Qaishar, gak cuma cita-citanya, tapi juga percintaannya," gumam Qafiya sembari mengigit bibir bawahnya.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang