5. Lempar Cincin

271 85 7
                                    

"Qais, ikut Bunda ke dalam."

Bunda berbalik, menyuruh Qais mengikutinya masuk. Pemuda itu melewati Nihla yang menatapnya nanar.

Di ruang tamu, mereka bicara berdua, Bunda memegang tangan putranya dengan lembut. Tatapannya penuh kasih sayang sekaligus kekecewaan.

"Bun...."

"Apa kamu gak suka Nihla yang sudah Bunda jodohkan denganmu sejak SMA?" tanya Bunda, sedikit mendongak, menatap sang putra yang jauh lebih tinggi.

Qaishar mengembuskan napas berat, sejak kecil hidupnya sudah berat walaupun bergelimang harta.

"Apa Bunda gak kasihan memanfaatkan Nihla dan keluarganya hanya untuk melindungiku?" tanya Qaishar balik.

Sejak kecil hidup Qaishar selalu terancam, itu karena ayahnya adalah seorang bandit dan pemilik organisasi Siluet, organisasi yang bekerja di dunia gelap dan penuh musuh.

Sekalipun ayahnya sudah meninggal saat dia kecil, tapi para musuh ayahnya masih mengejarnya untuk balas dendam.

"Nihla mencintaimu, keluarganya juga menerimamu."

"Keluarganya mau menerimaku karena Nihla, tapi cinta tidak akan membuat Nihla aman, Bun."

Bunda diam sejenak, membasahi bibir dari balik cadarnya. Dia melepaskan tangan Qaishar. Sebagai seorang ibu, tentu Bunda lebih mementingkan keselamatan anaknya lebih dari siapapun.

"Kalau Nihla celaka, keluarganya akan sedih." Qaishar berkata lirih.

"Lalu gadis yang kau bawa itu, apa kamu pikir bisa melindunginya sementara kamu saja butuh perlindungan?" tanya Bunda.

Qaishar tidak bisa melindungi gadis itu, ia hanya berniat membiayai Qafiya supaya gadis itu bisa melanjutkan pendidikan. Dia tidak bisa membiarkan Qafiya berada di sisinya dan jatuh ppdalam bahaya.

Orang sepertinya yang setiap detik bisa celaka, tidak pantas memiliki siapapun di sisinya.

"Aku akan suruh Fiya kuliah," jawab Qaishar.

"Lalu bagaimana dengan Nihla?"

"Biar aku sendiri yang bicara dengan Nihla," jawab Qaishar lagi. Dia berjalan duluan ke depan.

Di sana ada Nihla yang terlihat sangat sakit hati, ia menatap tajam Qafiya dan mencengkram erat lengan Qafiya hingga gadis itu terlihat kesakitan.

"Qais itu milikku, selamanya milikku, aku yang jaga ibunya dan menunggunya sampai tiga tahun. Kamu gak bisa ngrebuat Qais gitu aja."

"Mbak, sakit. Tolong lepas, aku sama Qais gak ada hubungan apapun, aku cuma numpang. Ntar kalau aku udah dapat kerjaan, aku bakal pergi kok."

Qaishar mengambil tangan Nihla supaya melepaskan Qafiya, gadis berhijab merah itu menoleh, menatap penuh kekecewaan.

"Qais ...."

"Ayo bicara."

Qaishar berjalan duluan ke taman samping rumah, meninggalkan Qafiya di teras depan bersama paman.

Di sana Nihla berusaha mendekat, tapi Qaishar mundur. Dia menyuruh gadis itu menjaga jarak.

"Kamu gak serius kan nikahin cewek itu?" tanya Nihla.

Tatapan matanya penuh kesedihan, padahal biasanya Nihla selalu tersenyum lebar. Gadis itu ceria dan selalu mengikutinya kemanapun.

"Gimana kepalamu? Apa masih sakit?" tanya Qaishar balik. Dia melihat kepala Nihla yang tertutup hijab.

"Udah sembuh."

Tiga tahun lalu, Nihla rela menggantikan Qaishar yang hampir tertembak. Beruntung peluru itu tidak menewaskan Nihla.

Sejak itu, orang tua Nihla menerima bahwa putrinya sangat mencintai Qaishar, begitu juga Bunda yang merasa Nihla bisa melindungi Qaishar.

Sementara Qaishar sendiri diliputi rasa bersalah, dia tidak suka membuat orang terdekatnya terluka, apalagi sampai mengorbankan nyawa untuknya.

Dia merasa seperti beban, ia takut membuat orang-orang yang berharga itu mati karena dia. Maka dari itu, tanpa sepengetahuan Nihla, ia pergi ke pesantren yang direkomendasikan kakeknya.

Bukannya menyerah, Nihla malah mendesak untuk diikat memakai cincin. Bunda setuju dan melamarkan Nihla untuk Qaishar. Saat cincin sudah terpasang, Qaishar marah besar tapi tidak berniat pulang. Dia menganggap pertunangan itu tidak pernah terjadi.

"Aku orang yang rela mati demi kamu, tapi kamu malah tega bawa gadis lain di hadapanku? Di mana hati nuranimu, Qais?!" Baru ini Qaishar melihat Nihla emosi.

"Lupakan aku, jangan datang ke mari lagi. Kamu lihat aku sudah punya istri 'kan?"

"Kamu jahat banget Qais, tega banget kamu ngelakuin ini ke aku."

Nihla menangis, dia memukul Qaishar dengan tangan lembutnya.

Bagi Qaishar, lebih baik seperti ini dari pada melihat Nihla terluka lagi. Tiga tahun lalu, Nihla bercucuran darah dan hampir mati.

Saat itu, seluruh tubuh Qaishar bergetar. Dia sangat takut Nihla mati karenanya. Gadis baik yang selalu ceria itu hampir mati tepat di pelukannya.

Qaishar mengambil cincin yang melingkar di jari manis Nihla, lalu membuangnya ke belakang, tepat di samping makan ayahnya.

Ayah mati karena melindungi Bunda dan dirinya. Ia tidak mau ada lagi orang yang mengorbankan nyawa untuknya.

"Qais!" Teriak Nihla melihat cincinnya melayang.

"Aku anggap pertunangan kita gak pernah terjadi," ucap Qaishar. Dia pergi meninggalkan Nihla.

Gadis itu berlari ke belakang, mencari cincinnya. Air matanya terus mengalir. Dia tidak ingin ikatannya dengan Qaishar hilang.

Sementara Qaishar berhenti, ia berbalik melihat apa yang dilakukan Nihla. Menyakitkan melihat gadis itu mengais rerumputan demi mencari cincin pertunangannya. Namun, Qaishar akan lebih sakit jika melihat Nihla mati karenanya.

Sesampainya di teras, Qafiya menatapnya penuh rasa bersalah.

"Maaf karena aku, kamu jadi berantem sama tunanganmu."

"Bukan karena kamu, jadi cepat masuk."

Qaishar masuk duluan, paman membawakan kopernya sampai depan kamar. Di ruang tamu ada Bunda.

"Nihla mana?" tanya Bunda.

"Jangan cari Nihla lagi, aku sudah menyuruhnya jangan datang ke sini mulai sekarang."

"Kamu--"

"Ini demi kebaikan Nihla, Bun."

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang