Hujan semakin deras, tapi tak ada yang beranjak sedikitpun untuk berteduh, mereka sibuk membawa Qaishar ke atas. Menjauh dari sungai yang alirannya semakin deras, air itu juga sudah sampai ke kaki Qaishar yang sebenarnya sudah cukup di semak pinggiran.
Qafiya yang memakai jas hujan langsung berlari untuk memeriksa keadaan Qaishar, beruntung napas Qaishar masih ada, detak jantungnya lemah, wajahnya pucat.
"Dia hipotermia, juga ada banyak air di paru-parunya. Dia harus segera dilarikan ke rumah sakit!"
Tim SAR segera menandu Qaishar yang tidak sadarkan diri, Qafiya mengikutinya, sementara yang lain terus melakukan pencarian.
Tak berselang lama, Bunda sudah ada di dekat jembatan bersama beberapa pria bertubuh besar, wajahnya terlihat gelisah menunggu kabar. Hanya dalam waktu beberapa jam Bunda bisa sampai sini.
Salah seorang pria sedang berbicara dengan komandan, sementara yang lain memayungi Bunda.
Qafiya dan tim SAR berlari membawa Qaishar menuju ke arah mereka. Mereka bertatapan, Bunda langsung lari kecil, tak memedulikan hujan mengguyur tubuhnya.
Bunda menangis melihat keadaan Qaishar, pertama yang Bunda cek adalah napas anaknya. Dia terlihat lega sekaligus khawatir.
"Alhamdulillah Bun, Qaishar selamat," ucap Qafiya menyuruh tim SAR membawa Qais ke mobil.
Bunda menahan tandu itu, kepalanya menggeleng. "Tugas kalian sampai sini, terima kasih. Kami akan membawa Qais."
Tandu itu diambil alih beberapa pria yang mengawal Bunda, tim SAR sempat protes tapi komandan menyuruh tim SAR membiarkannya. Pada akhirnya Qais dibawa pergi.
"Bun--" panggil Qafiya, Bunda langsung menoleh setelah melihat Qaishar dibawa ke mobil mereka. Sudah ada dokter pria paruh baya yang menunggu di ambulance.
"Kalau tugasmu di sini sudah selesai kamu boleh menyusul Qais," ucap Bunda.
"Aku juga khawatir sama Qais," kata Qafiya pelan.
"Kami akan menjaga Qais, kamu tidak perlu khawatir." Bunda memegang tangan Qafiya. Lalu pergi bersama rombongannya.
Di antara hujan itu Qafiya melihat Qaishar dibawa pergi orang tuanya, ia lega Qaishar selamat, hanya saja ia sedih karena tidak bisa merawat Qais.
"Kamu bukan Mario yang tiba-tiba meninggalkan tugas, 'kan?" tanya Dokter Senior yang ikut bersamanya.
Qafiya menoleh, "aku akan tetap di sini sampai tugasku selesai. Aku bukan orang yang tidak bertanggung jawab, apalagi membawa masalah pribadi ke pekerjaan."
Meskipun mengatakan hal itu, tapi pandangan Qafiya tidak lepas dari Qaishar yang dibawa pergi, tangannya masih gemetar sejak menemukan Qaishar. Dia sampai meremas tangannya supaya tidak terlihat orang lain.
Pekerjaan dilanjutkan sampai semua korban ditemukan, Qafiya kembali ke pengungsian bersama mereka. Sepertinya Bunda langsung membawa Qaishar ke rumah sakit. Di sini tak ada jejak Qaishar sama sekali.
Dinginnya hujan tidak membuat Qafiya berhenti mengkhawatirkan Qaishar, ia melihat ponselnya. Itu adalah ponsel yang Qaishar belikan 6 tahun lalu.
"Kalau sudah sadar, tolong kabari aku." Qafiya mengirimkan pesan itu.
Masih ceklis satu, bisa jadi ponsel Qaishar mati. Qafiya tinggal di pengungsian dalam sebuah kegelisahan. Hatinya tidak tenang, sering melamun.
Hingga beberapa kemudian dia dibebas tugaskan. Dokter Tina mengizinkan dia pergi.
"Kondisi di sini sudah stabil, para warga sudah banyak yang kembali ke rumahnya. Jadi kalau kamu mau pergi silakan, saya dengar minggu depan kamu ujian."
Dokter Senior yang sangat berkompeten, lebih memedulikan kemanusiaan dibandingkan jabatan. Katanya beliau sudah sering menjadi dokter di pengungsian bencana alam.
"Dari awal saya ke sini, saya sudah berniat merelakan ujian, tapi ... seseorang menjanjikan pernikahan setelah ujian."
"Maksudnya TNI yang hanyut itu?" tanya dokter Tina.
Qafiya mengangguk, mungkin Dokter Tina tidak peduli pada gosip di antara pengungsi. Dia masih menyebut Qaishar TNI, bukan suami Qafiya.
"Saya dengar orang itu sekarang sedang dirawat di Jakarta," ucap Dokter Tina.
"Dokter tahu dari mana? Dia di rumah sakit mana? Gimana keadaannya?"
"Dia belum sadar, tapi katanya kondisinya sudah lebih baik. Dia sangat beruntung."
Dokter Tina membereskan berkas-berkas di atas mejanya, banyak laporan yang harus dikirim ke pusat.
"Cepatlah pergi, bukankah dia calon suamimu, atau ... sudah jadi suamimu." Dokter Tina mengatakan itu tanpa melihat ke arah Qafiya.
Gadis itu segera mengangguk, ia bergegas membereskan barang-barangnya.
Dia pamitan dengan para relawan, pengungsi dan teman-teman di sana. Tak lupa pada Paman dan bibinya yang ikut khawatir dengan kondisi Qaishar.
Dia pergi dari pengungsian hari itu juga, Qafiya mengambil penerbangan malam, hatinya tidak sabar bertemu Qaishar.
Namun, sesampainya di Jakarta. Bunda tidak dapat dihubungi. Pada akhirnya dia ke rumah sakit tempat Qaishar dirawat lewat alamat yang diberikan dokter Tina.
Sesampainya di sana, dia baru tahu bahwa pasien bernama Qaishar sudah terbang ke Singapur untuk menjalani perawatan.
Kakinya lemas, dia terduduk di luar rumah sakit. Tak tahu harus bagaimana untuk meredakan rasa rindu bercampur khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Pedang Pora (TAMAT)
Teen FictionQafiya dan Qaishar terikat karena sebuah kesalahpahaman, ketika mereka berpisah Qafiya pikir hubungan mereka sudah berakhir. Namun, 6 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali di sebuah pengungsian gunung Semeru. Ikatan yang Qafiya pikir sudah tid...