12. Relawan

496 91 24
                                    

Selama seminggu Qafiya tidur di mess, ia sudah tidak tahan tinggal bersama ibu dan adik-adiknya. Uang yang seharusnya bisa diirit langsung ludes semua. Dia harus bertahan dengan sisa uang sampai dapat kiriman lagi.

Padahal dulu dia tidak enak dapat kiriman terus, tapi sekarang dia menantikannya. Dia harus membayar kuliah dan ujian yang tinggal sebentar lagi.

Qafiya memakai jas putih lengan pendek, menutupi baju panjangnya. Dia memakai hijab yang diikat kebelakang supaya rapi. Bersiap ke UGD gantian dengan temannya.

Semenjak tinggal terpisah dengan ibunya, ia memiliki waktu untuk istirahat walaupun cuma sebentar. Tidak perlu repot menjaga Putri ataupun mengantar jemput Eza.

"Fiya, ada ibu-ibu yang nyariin kamu di depan. Dia bikin ribut sampai ganggu pasien."

Teman jaga Qafiya baru masuk, merebahkan tubuhnya di tumpukan bantal. Ranjang kecil itu berdecit.

"Dari mana Mama tahu tempat aku koas," gumam Qafiya bergegas keluar.

Dia menemui wanita yang dimaksud, benar saja itu Mamanya, membawa kedua adik yang wajahnya memelas. Ada tas ransel besar, sama seperti saat mereka baru pindah ke apartemennya.

"Ngapain Mama ke sini?" tanya Qafiya.

"Fiya, Mama ngaku salah. Mama gak punya siapa-siapa lagi selain kamu, ayo tinggal bareng lagi."

Mama memegang tangan Qafiya, tapi gadis itu mundur. "Aku udah gak ada uang buat bayar sewa apartemen, Ma."

"Masak sedikitpun gak ada?"

"Sumpah gak ada."

"Uang jual kulkas sama tv ini masih ada, ayo kita ngontrak. Mama cuma pingin kita sama-sama lagi, Mama nyesel dulu ninggalin kamu."

Tatapan Mama memelas, sementara kedua adiknya juga memegang kedua ujung baju Qafiya.

"Ayo pulang, Kak." Eza yang biasanya bertengkar dengannya merengek, sementara Putri bergelayut di tangannya.

"Pulang sama Putri juga."

Walaupun enggan mengakui, tapi mereka bertiga tetaplah keluarganya. Qafiya dilema, apakah dia harus memberikan kesempatan sekali lagi pada Mama?

Pada akhirnya Qafiya luluh, dia menyuruh Mama memilih kontrakan, ia akan menyusul setelah selesai tugas.

Setelah Mama pergi, ia mengembuskan napas berat. Lari dari mereka adalah sesuatu yang berat, mereka membawa ikatan tak kasat mata yang disebut keluarga dan hubungan darah.

Qafiya berjalan ke UGD, di lorong banyak dokter berkerumun, ia ikut penasaran dan mendekat.

"Ada apa, ya Dok?" tanya Qafiya pada dokter pembimbingnya.

"Gunung Semeru tiba-tiba meletus."

Qafiya sudah tahu berita itu kemarin, tapi apa hubungannya gunung Semeru dan para dokter di sini?

"Oh itu, aku tahu kemarin."

"Banyak korban jiwa, korban yang terluka juga banyak, mereka belum sempat mengungsi. Ini jadi bencana nasional."

Qafiya mengangguk-anggukkan kepalanya, melihat wajah sedih dokter Hendra. Dia juga bersimpati.

"Terus kenapa ini kumpul di sini, Dok?"

"Pemerintah butuh banyak tenaga medis untuk dikirim ke sana, ah, pasien kita juga lagi banyak, mana bisa kita ngirim dokter ke sana. Perawat juga semuanya kualahan karena banyak anak yang kena gagal ginjal gara-gara obat Paracetamol kemarin. Belum lagi wabah DBD."

Para dokter mengeluh jika harus dikirim ke sana, mereka sudah susah mengurus pasien di sini.

Qafiya hanya mengangguk-angguk kepalanya, dia tidak ada urusan untuk ikut campur, paling ya nanti dia ikut nyumbang saja untuk para korban.

Qafiya berlalu ke UGD, menggantikan teman yang sudah berjaga semalaman.

Pasien hari ini memang kebanyakan terkena DBD, bahkan ada yang trobositnya sisa 5.000. Mungkin karena rumah sakit ini dekat dengan lingkungan padat penduduk menengah ke bawah, mereka hidup di dekat sungai dan genangan air.

Selesai tugas, ia membereskan barang-barangnya, Mama mengirim pesan, beliau sudah mendapatkan kontrakan dan Qafiya tinggal datang saja.

Saat Qafiya mencari kontrakan yang dialamatkan oleh Mama, ia terkejut mendapati sebuah rumah yang cukup bagus dan lebar. Di Jakarta ngontrak di rumah seperti ini pasti mahal.

Padahal Qafiya pikir Mama akan mengambil kontrakan petakan, kecil saja yang penting muat.

"Assalamualaikum," ucap Qafiya sembari mengetuk pintu.

"Waalaikumsalam." Mama langsung membuka pintu dengan wajah gembira.

"Ma, kita ngontrak di sini?"

"Iya, bagus kan? Ada tiga kamar. Buat kamu, adik-adik kamu dan Mama. Ruang tamunya juga luas, ada ruang TV juga."

"Ma, harganya pasti mahal. Kita mana ada uang."

"Bisa dicicil kok, setahun cuma 35 juta. Mama udah kasih DP 3 juta hasil jual kulkas sama TV, sisanya pasti kamu bisa urus. Bentar lagi kan koasmu selesai trus bisa kerja."

Qafiya menahan amarahnya di dada, Mama selalu bertindak seenaknya sendiri.

"Ma, walaupun selesai koas aku masih harus ujian."

"Ya kan setelah lulus ujian trus dapet sertifikasi kompetensi dokter, kamu bisa ngobatin orang dan minta bayaran, kamu ini dokter, dokter itu banyak duit."

"Matane," gumam Qafiya, menirukan temannya yang suka mengumpat.

"Kamu ngomong apa?" tanya Mama.

"Nggak, aku aamiinin aja. Siapa tahu nanti aku banyak duit beneran."

"Iya, Mama selalu doain kamu banyak duit. Ayo cepet masuk, Mama udah masak."

Qafiya membawa tas ranselnya masuk ke dalam rumah, ia melihat TV baru dan kulkas baru. Keningnya berkerut.

"Loh, Ma. Kok udah punya TV?"

"Eza gak bisa kalau gak nonton TV, jadi Mama kreditin TV. Perbulannya cuma bayar 300 ribu, kulkas perbulan juga cuma 200 ribu. Murah 'kan?"

"Yang bayar Mama 'kan?"

"Ya gak lah, kan ada kamu."

Qafiya mengangkat ranselnya lagi. "Gak mau, Ma. Aku balik ke mess lagi aja."

"Eh, nggak boleh." Mama menahan ransel Qafiya.

"Aku gak bisa nanggung semua cicilan dan pengeluaran kita, Ma."

"Mama bercanda, nanti kan Mama kerja, jadi Mama juga bantu bayar."

Saat itu Qafiya mencoba percaya, tapi bulan berikutnya Mama tak kunjung kerja dan ia yang membayar cicilan, belum lagi uang kontrakan sudah diminta yang punya.

"Bentar lagi anakku jadi dokter, nanti kami pasti bayar." Begitulah Mama menjanjikan.

Padahal ujian tinggal di depan mata, tapi Qafiya tidak fokus sedikitpun. Dia malah berpikir untuk jadi relawan untuk gunung Semeru. Menunda ujian dan pergi jauh dari Mamanya.

Namun, jika dia lepas tanggung jawab. Siapa yang akan mengurus Mama dan adik-adiknya? Dia terikat sesuatu tak kasat mata lagi, yakni rasa sayang dan peduli.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang