Menikah sekarang atau nanti sepertinya akan sama saja, lagi pula Qafiya tidak punya pria lain. Tidak mungkin dia memilih Gus Fadil yang alay atau Mario yang tempramental.
Meskipun dia tidak terlalu suka pada abdi negara, tapi sepertinya dia bisa bertahan jika itu pria sebaik Qaishar. Qaishar yang dulu selalu bersikap dingin dan menjaga jarak itu, kini terang-terangan menyatakan cinta padanya.
"Ayo kembali ke Jakarta setelah selesai di sini," itulah jawaban Qafiya di antara bibirnya yang tersembunyi.
Seketika Qaishar mengikuti senyum itu, wajahnya terlihat sangat lega. Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi kebahagiaan yang meluap di hatinya.
Waktu terasa terhenti di antara mereka, pengungsian yang ramai tak terdengar sama sekali. Dua orang itu fokus melihat senyum di wajah lawan bicaranya.
Keesokan harinya, saat mandi bersama dokter senior bernama Irma, Qafiya bercerita tentang rencana resepsinya di Jakarta. Dia mengundang Irma.
"Berarti kalian akan mengadakan upacara pedang Pora dong?" tanya Dokter Irma. Dokter berusaha 30 tahun dan belum menikah.
"Dokter mau gak jadi Bridesmaid-ku? Dokter tahu sendiri aku gak punya banyak temen."
Dokter Irma menyaksikan sendiri teman-teman Qafiya pergi dari sini, sampai Dokter Tina marah besar. Dokter Tina adalah kepala medis di pengungsian ini. Beliau sudah berusia 40 tahun. Beliau juga yang menenangkan Qafiya ketika calon dokter muda itu kehilangan semangat.
"Mau, asal suamimu mengenalkanku dengan komandannya."
"Eh, bukannya komandan udah nikah?"
Dokter Irma menggeleng, mereka lanjut mencuci pakaian setelah mandi.
"Katanya dia duda tanpa anak, istrinya selingkuh waktu dia tugas."
Qafiya mengangguk-anggukkan kepalanya, mulutnya hanya bilang O secara pelan. Tak menyangka Dokter Irma tahu banyak.
Mereka bercerita banyak hal, tertawa dan juga bercanda. Dokter Irma sempat terkejut saat Qafiya bilang bahwa dia dan Qaishar belum pernah melakukan hubungan suami istri.
"Suami ganteng kayak gitu dianggurin, sayang banget."
"Nanti kalau sudah resmi baru aku terkam, hahaha."
Mereka berjalan ke tenda, matahari baru saja muncul, suasana pengungsian mulai ramai.
"Apa yang mau kamu terkam?"
Pertanyaan itu membuat Qafiya menoleh, ada Qaishar sudah lengkap dengan seragamnya. Dia juga membawa tas punggung.
"Ah, itu-- eh kamu mau ke mana bawa tas?" tanya Qafiya mengalihkan pembicaraan.
"Bukannya kemarin aku sudah bilang hari ini mau membersihkan area yang terdampak?"
Gunung Semeru sudah turun dari level awas, erupsi sudah berhenti, pengungsian menjadi tenang, para warga yang rumahnya dekat dari sini sudah mulai pulang ke rumah masing-masing.
"Pakai tas apa nginep?"
"Areanya jauh, kemungkinan besar iya. Aku ke sini cuma mau bilang, nanti Bunda nelpon kamu buat ngomongin resepsi."
"Kamu udah ngomong Bunda?"
"Sudah tadi malem."
"Ah, iya. Hari ini aku cuma meriksa pasien yang mau pulang, jadi banyak nganggur."
Qaishar hanya mengangguk, dia mengulurkan tangannya membuat Qafiya bingung. Tangan itu masih berbekas luka bakar beberapa waktu lalu.
"Ngapain?"
"Suami mau pergi, gak salim?"
"Ih, malulah. Banyak orang. Ntar kalo dah resepsi dan semua orang tahu kalau aku udah nikah baru aku cium."
Qaishar menarik tangannya kembali. "Yaudah aku berangkat."
"Hati-hati."
Pria itu hanya menunduk pada Dokter Irma tanda menyapanya, kemudian berlalu meninggalkan pengungsian menuju mobil TNI yang sedang dipanaskan. Dia menunggu personil yang lain.
Dari kejauhan Qafiya terus memandanginya.
"Kalau aku jadi kamu, gak cuma salim, tapi aku peluk."
Dokter Irma mengikuti arah pandangan Qaishar.
"Gak ah, malu."
"Mending malu dari pada nyesel, dia kan mau menuju area bahaya. Seharusnya kamu lepas dia dengan mesra."
Perkataan Dokter Irma membuat Qafiya tersipu malu, ia tak berani seperti itu. Mungkin nanti, jika hubungan mereka lebih dekat setelah pernikahan.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan dan aktivitas, siang harinya Bunda menelepon, belum pernah Qafiya segugup itu.
Dia berjalan ke pojok pengungsian, di sana jauh lebih tenang. Jauh dari bising.
"Maaf Bun, di sini rame."
"Gak papa, Qaishar sudah bilang kan kalau Bunda mau nelpon?"
"Iya, tadi pagi dia bilang."
"Sebelum membahas resepsi, Bunda ingin bertanya sekali lagi. Apa benar kamu ingin meresmikan pernikahanmu dengan Qaishar?"
Qafiya terdiam, menarik napas. "Insyaallah Bun."
"Apa kamu sudah tahu kalau Qaishar itu hidupnya gak pernah tenang?"
"Maksudnya gimana?"
"Almarhum ayahnya Qais banyak musuh, dari kecil sampai dia remaja, dia selalu hidup bersembunyi dan pindah-pindah. Apa kamu siap memiliki suami seperti itu?"
"Yang banyak musuh kan almarhum ayahnya Qais, bukan Qais. Aku gak masalah," jawab Qafiya.
"Kami punya satu rahasia, sebelum kamu menjadi bagian dari kami, Bunda ingin memberitahumu. Almarhum ayahnya Qais memiliki organisasi besar, mereka penguasa dunia bawah, kamu pasti bertanya-tanya dari mana semua harta Qais sampai bisa membiayai pendidikanmu.
"Itu semua karena kekayaan ayahnya Qais tidak terhitung jumlahnya, sejak ayahnya Qais meninggal, paman Qais yang memimpin organisasi itu. Namun, suatu hari nanti. Pamannya Qais berniat menyerahkan organisasi itu pada Qais."
Jujur, Qafiya tidak mengerti organisasi apa yang dimaksud. Apa mungkin semacam Muhammadiyah yang memiliki kekayaan triliunan? Atau organisasi pemuda Pancasila?
"Fiya kurang ngerti Bunda, tapi apapun pilihan Qais, Fiya akan dukung. Qais mau di TNI atau menjalankan organisasi itu. Insyaallah Fiya akan dampingi terus."
Bunda terdiam cukup lama, "setelah kamu kembali ke Jakarta, Bunda akan mengajakmu melihat organisasi yang bernama Siluet."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Pedang Pora (TAMAT)
Teen FictionQafiya dan Qaishar terikat karena sebuah kesalahpahaman, ketika mereka berpisah Qafiya pikir hubungan mereka sudah berakhir. Namun, 6 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali di sebuah pengungsian gunung Semeru. Ikatan yang Qafiya pikir sudah tid...