14. Bertemu Kembali

492 96 39
                                    

Matahari bersinar terik, hembusan angin datang dari arah gunung, semua ingatan tentang Qaishar dan pertemuan singkat mereka beberapa tahun lalu berputar di kepala Qafiya.

Pria di hadapannya itu sudah berubah, lebih tinggi dan gagah. Kali ini tersenyum, tidak lagi bersikap ketus seperti saat di pesantren dulu.

Kedua alis Qaishar terangkat, menunggu reaksi Qafiya yang masih terpaku di tempat.

"Apa kabar?" tanya Qaishar.

Mereka terlalu dekat, Qafiya mundur. Dia tidak mau muncul gosip seperti di pesantren dulu. Tempat ini mengingatkannya pada kenangan lama. Fitnah kejam dan kesalah pahaman orang-orang membuatnya takut.

Sekarang dia memiliki dunia baru, teman-teman dan statusnya sebagai calon dokter. Dia takut masa lalu menghancurkan hidupnya yang sekarang.

"Ah, aku baik. Kamu juga apa kabar?"

Qaishar tersenyum, terlihat sangat menawan dengan seragamnya yang gagah. Seketika jantung Qafiya berdebar, tidak menyangka pria jutek itu bersikap ramah padanya.

"Aku baik, tidak disangka kita akan bertemu di sini."

"Ah, iya. Kalau gitu aku permisi dulu, banyak barang yang harus aku beresin."

"Oh ya silakan."

Qafiya berlalu melewati Qaishar, pria itu masih melihat punggung Qafiya sampai wanita itu masuk tenda.

"Kamu kenal TNI itu?" tanya Mario.

"Dulu kami satu pondok."

Mario menurunkan tasnya, kepalanya mengangguk-angguk tanpa bertanya lebih lanjut. Dia membereskan peralatan medis yang dibawa dari Jakarta.

Pikiran Qafiya saat ini sedang kacau, ia sangat takut fitnah di pondok dulu didengar teman-temannya. Ah, rasa malu itu masih ada sampai sekarang. Dia pergi dari pondok tanpa menjelaskan apapun.

Kalau bertemu dengan orang pondok pasti tetap mengira dia dulu diusir dari pesantren karena bermalam dengan Qaishar.

Andai dia tahu lokasi pengungsian di lapangan pesantren, atau dia tahu Qaishar akan ke sini, tentu dia tidak akan mau.

"Hati-hati!" Mario mengambil kotak berisi obat yang hampir Qafiya jatuhkan.

"Ah, maaf."

"Biar aku saja yang bawa," ucap Mario. "Kamu pasti capek habis perjalanan jauh. Istirahat aja biar aku yang urus ini." 

Kalimat itu membuat teman-teman yang lain menoleh, pasalnya semua orang yang ada di sana juga lelah karena perjalanan.

"Ciee.... ehem. Yang capek gak cuma Fiya."

"Tapi yang diperhatiin cuma Fiya," ketus Livia.

"Ehem ehem."

"Ya ya udah kalian juga istirahat," ucap Mario salah tingkah. Telinganya memerah. Dia buru-buru keluar membawa kotak obat.

Di dalam tenda teman-teman mendekat ke Qafiya.

"Mario itu suka sama kamu," ucap Syilfy.

"Eh, apa?"

Livia mengambil air minum sembari melirik mereka, "kamu itu bodoh atau gimana sih? Mario itu ikut ke sini karena kamu."

Livia memperjelas perkataan Syilfy, mereka terlihat geram karena Qafiya tak kunjung sadar perasaan Mario meskipun sudah sejelas itu.

"Kenapa dia bisa suka sama orang kayak aku?" tanya Qafiya.

"Tentu aja karena kamu cantik," jawab Denis. Dia membawa peralatan medis di punggungnya dan keluar tenda menyusul Mario.

"Enak ya jadi orang cantik," sindir Livia. Dari dulu dia memang terlihat sinis pada Qafiya.

Awalnya Qafiya heran kenapa Livia ikut ke sini padahal tidak suka berdekatan dengannya, tapi setelah melihat sikapnya selama di perjalanan, Qafiya sadar sesuatu. Livia ke sini mengikuti Mario.

"Enaklah, kan gak semua orang beruntung kayak aku." Qafiya menaruh tasnya dan mengambil perlengkapan medis. Mendahului Livia keluar tenda.

Dia tidak mau pura-pura baik atau mengalah, dia ke sini bukan untuk rebutan pacar. Masih banyak hal yang harus dia urus.

Setelah keluar tenda, langkahnya terhenti melihat Qaishar yang sedang berjaga, pria yang ingin dia hindari itu melihatnya sembari tersenyum. Membuat Qafiya buru-buru pergi dari sana sembari menunduk.

Dia segera ke tenda tempat para pengungsi, sangat ramai di sana, sudah ada beberapa dokter senior dan perawat. Dia mengenakan masker sebelum memeriksa pasien.

"Qafiya, ternyata bener kamu ke sini."

Gadis itu menoleh, berhadapan dengan paman yang sudah lama tak dijumpai.

Dia segera berdiri, orang-orang melihat ke arah mereka. Ia salim ke paman.

"Iya, baru nyampe tadi. Belum sempet nemuin Paman."

Paman melihat sekitar, banyak pasien yang menunggu untuk diperiksa, kebanyakan anak-anak yang batuk.

"Ya sudah, nanti malem ke pondok ya. Banyak yang pingin Paman bicarakan."

"Iya, nanti malem aku ke sana."

Setelah paman pergi, Mario mendekat. "Siapa dia?"

"Pamanku, adik dari Papa."

"Jadi ustadz di sini?"

"Iya."

"Nanti malem kamu ke pondok?"

"Iya tadi disuruh."

"Mau aku temenin? Aku juga pingin kenal sama keluargamu."

Kalimat itu membuat Qafiya berhenti sejenak, ia jadi ingat perkataan Livia tadi, Mario menyukainya. Sekarang sedang mendekatinya terang-terangan.

"Kayaknya nanti aja deh, soalnya tadi Paman nyuruh ke sana karena ada hal penting. Mungkin urusan keluarga."

"Oh gitu, ya sudah kapan-kapan saja aku nemuin pamanmu."

Qafiya mengangguk, mereka kembali ke aktivitas masing-masing. Tidak ada waktu istirahat. Pengungsi terus berdatangan, ada yang naik mobil TNI, ada juga yang datang menggunakan truk.

Malam harinya Qafiya pamit pada teman-temannya untuk ke pesantren menemui sang paman. Jantungnya berdebar kencang. Menginjakkan kaki ke pesantren ini lagi.

Dulu, dia hampir tinggal di sini selamanya. Ia terus melangkah tanpa memedulikan orang-orang yang baru keluar dari tempat ngaji.

Dia ke tempat paman berada. Rupanya di sana sudah ada seseorang, memakai seragam dan sedang mengobrol dengan paman.

"Ngapain Qaishar sama paman?"



Bersambung


Walaupun up lambat dan terjungkal-jungkal, insyaallah ttp aku usahain tamat gaes. Sabar yahh

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang