17. Pengakuan

606 112 27
                                    

Gempa terus meningkat, mereka tidak ada waktu lagi.

"Udahlah tinggalin aja, komandan juga minta kita segera kembali. Para pengungsi sudah keluar desa duluan. Kita harus segera menyusul," ucap teman Qaishar.

Sekali lagi Qaishar melihat ke arah Mbah Luwo, pria itu masih bersikeras di tempatnya. Seolah menunggu ajal.

"Ayo cepat, erupsi susulan akan segera datang."

Teman Qaishar keluar rumah duluan, sementara Qaishar masih mematung dengan pikiran berkecamuk. Dia menarik napas panjang dan membuat keputusan.

Dia mengangkat Mbah Luwo secara paksa, tidak peduli pria tua itu memberontak.

"Dasar kurang ajar, sudah saya bilang saya tidak mau ikut!"

"Kalau Mbah tetap di sini namanya bunuh diri bulan pasrah menunggu ajal."

Qaishar menaruh Mbah di mobil, pria tua itu terus memberontak.

"Cepat! Wedus gembel di belakang kita!" Teriak teman Qaishar.

Abu yang menggulung seperti bulu kambing berada di belakang mereka, sangat lebat penuh dengan hawa panas. Qaishar duduk di bagian belakang mencoba menghalau Mbah Luwo yang hendak loncat.

"Tancap gas!" Qaishar memberi perintah, mobil segera melaju dengan kecepatan penuh.

Mereka kejar-kejaran dengan awan panas tersebut. Namun jalanan yang rusak sangat sulit untuk lebih kencang.

Tangan Qaishar yang berpegang terkena rasa panas dari abu, dia hanya bisa menahan sakit, Mbah Luwo yang merasakan aura panas mendadak takut dan tak memberontak lagi.

Mereka sampai di jalan aspal, teman Qaishar menambah kecepatan. Mereka kejar-kejaran dengan awan panas selama tiga puluh menit, hingga akhirnya mobil sampai di zona aman.

Mobil kembali melaju menyusul rombongan, matahari hampir terbenam. Sangat indah sinarnya. Tenggelam di antara pegunungan. Qaishar mengembuskan napas panjang. Bibirnya tersenyum, ia ingin segera menemui Qafiya. Baru berpisah satu hari saja rasanya sudah rindu.

"Terima kasih," ucap Mbah Luwo.

Rupanya dia juga takut mati setelah melihat gumpalan awan panas. Qaishar hanya tersenyum, dia melepaskan tangan dari tubuh Mbah Luwo.

Mereka sama-sama terdiam di mobil bak terbuka itu, mobil berjalan santai, Qaishar membuka topinya, merasakan angin berembus di wajah.

Rombongan sudah terlihat, rupanya memang menunggu mereka. Komandan turun duluan, wajahnya yang cemas  langsung lega setelah melihat anak buahnya selamat dari maut.

"Tanganmu terluka?" tanya Komandan.

"Hanya sedikit," jawab Qaishar. Menyembunyikan lukanya.

Komandan memberikan sapu tangan, luka bakar itu terlihat tidak baik-baik saja. Qaishar menerimanya, perjalanan pun dilanjutkan. Mereka hanya mampir ke sebuah mushola untuk istirahat. Perjalanan cukup jauh.

Sesampainya di penampungan, Qaishar segera ke pusat medis, tidak hanya untuk mengobati lukanya, tapi juga ingin berjumpa dengan Qafiya.

Namun, langkahnya terhenti ketika para relawan medis itu berkumpul. Rupanya ada sesuatu yang menarik.

"Terima! Terima! Terima!" Teriak orang-orang.

Setelah melihat lebih jelas, ternyata seorang pemuda sedang berlutut di depan Qafiya. Mengulurkan sebuah cincin dan bunga.

"Ayo dong, terima Marionya! Dia udah bucin banget tuh sampai ngikutin kamu ke sini!" Komentar teman-teman mereka.

Qafiya terlihat bingung, sementara Qaishar terasa terbakar, bukan tangannya, melainkan hatinya. Dia benci tidak ada yang tahu bahwa Qafiya adalah istrinya.

"Aku ... itu ... aku ..." Qafiya terlihat begitu terdesak.

Qaishar tiba-tiba maju.

"Kalian ke sini untuk membantu atau hanya untuk bermain? Kalau ke mari bukan niat kemanusiaan lebih baik pulang saja! Di sana banyak korban yang butuh pertolongan medis, kalian malah bermain-main!"

Semua orang melihat ke arah Qaishar yang marah, seketika orang-orang bubar sembari bergumam. Mario juga berdiri dengan canggung.

"Dokter! Tolong anak saya!" Teriak seseorang menghampiri tenda medis.

Mario menyerahkan cincin itu ke tangan Qafiya. "Aku tunggu jawabanmu nanti."

Mario berlalu sembari membawa kotak medis. Dia dan para rekannya menghampiri para pengungsi yang berdatangan.

"Maaf," ucap Qafiya pada Qaishar.

"Buat apa?"

"Aku bingung ngomong ke temen-temen ku kalau aku udah nikah," jawabnya.

"Kirim saja undangan pada mereka setelah kita pulang dari sini," kata Qaishar.

"Maksudnya?"

"Ayo resmikan pernikahan kita."

Kalimat itu membuat Qafiya terdiam, dia sangat bingung.

Diamnya Qafiya membuat Qaishar terluka. Gadis itu tidak antusias, sepertinya tidak memiliki perasaan yang sama dengannya.

"Apa kamu tidak menyukaimu seperti aku menyukaimu?" tanya Qaishar.

Sekali lagi Qafiya belum mampu menjawabnya. Dia malah memandang mata Qaishar yang tampak terluka.

"Itu .... aku .... jujur belum kepikiran cinta-cintaan. Masih banyak yang harus aku lakukan."

Jawaban Qafiya membuat Qaishar terluka, seperti penolakan atas perasaannya.

"Apa kamu suka rekanmu itu?"

Qafiya menggeleng. "Aku cuma ngrasa belum siap punya hubungan, hidup ku masih berantakan dan rumit. Kalau ditambah cinta-cintaan rasanya aku gak bisa."

"Kamu butuh waktu berapa lama? Aku akan menunggumu."

"Itu--"

"Dulu kamu bilang akan bertanggung jawab karena aku terseret hubunganmu dengan Gus, sekarang aku minta pertanggungjawaban mu. Aku jatuh cinta padamu, jadi bertanggung jawablah." Qaishar memaksa. Dia tidak suka jawaban Qafiya yang tidak jelas.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang