23. Diberi Pilihan

343 96 15
                                    

Qafiya tak menyangka Mario akan berbuat seperti itu, mereka sungguh meninggalkan pasien untuk membuat Qafiya kewalahan. Dokter Senior sampai berteriak-teriak karena marah dengan sikap mereka.

Di saat genting seperti ini para calon dokter muda itu pergi, sangat tidak bertanggung jawab. Membuat pengungsian itu kekurangan tenaga medis.

Mereka minta bantuan pada rumah sakit terdekat, tapi itu juga membutuhkan waktu, pada akhirnya banyak pasien yang tidak selamat, bahkan sebelum pasien itu mendapat perawatan.

Banyak yang dirujuk ke rumah sakit besar, luka bakar serius hingga gagal napas. Qafiya sampai bingung mana pasien yang harus didahulukan.

Bahkan anggota TNI ikut merawat orang-orang, mereka mengarahkan segala upaya untuk menyelamatkan para korban.

Selama lebih dari dua belas jam, akhirnya keadaan lebih tenang, tenaga medis bantuan telat tiba bersama peralatan yang lebih memadai, Qafiya yang pakaian putihnya berubah kotor berjalan ke belakang tenda, terduduk di sana dan menangis di antara lututnya.

Dia sangat sedih tidak bisa menyelamatkan lebih banyak orang, dia merasa bersalah. Andai dia lebih bisa menenangkan Mario, pasti mereka tetap di sini dan orang-orang itu bisa selamat.

Seorang dokter Senior mendatanginya setelah mendengar isak tangis, untuk seorang yang belum resmi menjadi dokter, melihat banyak kematian adalah hal yang mengguncang mentalnya.

"Hidup mati adalah milik Tuhan, dokter hanya bisa berusaha."

Dokter itu duduk di kursi dekat Qafiya menangis. Gadis itu menoleh, melihat dokter wanita paruh baya yang sama capeknya.

"Andai aku lebih berusaha, andai aku bisa mencegah kepergian Mario, pasti aku bisa menyelamatkan lebih banyak orang."

Qafiya masih terisak, hatinya penuh rasa bersalah, apalagi mengingat keluarga pasien yang berteriak histeris melihat kematian anggota keluarganya.

Dia merasa semua ini salahnya.

"Semua ini bukan salahmu, jadi kamu tidak perlu menyalahkan diri sendiri, saat menjadi dokter nanti, kamu akan lebih banyak melihat kematian. Jadi tegakkan badanmu, tegarlah."

Setelah mengatakan itu, dokter senior itu pergi meninggalkan Qafiya, gadis itu kembali menunduk, menenggelamkan wajahnya di antara lutut.

Qaishar datang kemudian, ikut duduk di bawah. Tepat di sebelah kanan Qafiya. Perlahan tangan Qaishar terulur, mengusap pucuk kepala Qafiya.

Gadis itu menoleh ke samping, tangisannya pecah lagi, tak kuasa menahan rasa sedihnya. Qaishar segera memeluknya, membiarkan gadis itu menangis lebih kencang.

Cukup lama hingga Qafiya tenang, ia mengelap ingusnya yang sebagian menempel di baju Qaishar. Gadis itu mendongak, Qaishar belum tahu ingus tersebut, Qafiya segera membersihkannya.

"Istirahatlah, tenaga medis dari kota sudah datang, biar mereka yang menjaga pasien."

Mendengar itu Qafiya mengangguk, ia berdiri dibantu Qaishar. Hatinya jauh lebih tenang.

"Kamu mau ke mana?" tanya Qafiya. Dari tadi Qaishar juga membantu tenaga medis, pria itu pasti juga kelelahan.

"Aku ingin menguburkan jenazah," jawab Qaishar berlalu menyusul teman-temannya.

Dalam tragedi ini banyak sekali korban meninggal, para wartawan juga memenuhi area pengungsian. Mereka minta wawancara dari dokter senior, juga meliput para korban yang terdampak. 

Di dalam hiruk pikuk pengungsian, Qafiya terdiam. Ia ingin menyelamatkan lebih banyak orang, ia ingin melihat senyum para keluarga yang berhasil diselamatkan.

Namun, nyawa tetaplah di tangan Tuhan. Sekuat apapun dia berusaha, jika Tuhan tidak berkehendak maka ia tidak bisa melakukan apapun.

Puncak tragedi itu telah surut, bantuan dari pemerintah berdatangan beserta bantuan dari masyarakat. Relawan tenaga medis juga sudah cukup.

"Bentar lagi bukankah kamu ujian?" tanya Qaishar.

"Aku niatnya cuti terus ambil ujian selanjutnya aja, aku masih males balik ke Jakarta."

Qafiya malas bertemu ibunya, pasti ibu dan ayah tirinya akan membuat ulah lagi. Dia juga tidak ada tempat tinggal di Jakarta. Harus cari dulu.

"Kalau ujianmu diundur, pesta pernikahan kita berarti juga diundur? Ah, sayang sekali. Padahal Bunda sudah menyiapkan semuanya."

"Ah, apa? Pesta?"

"Iya, aku kan sudah bilang akan meresmikan pernikahan kita."

"Terlalu buru-buru gak sih, kamu kan juga lagi tugas."

Qaishar menggeleng, "setelah membersihkan area yang terdampak besok, aku boleh pulang bersamamu ke Jakarta. Komandaku sudah tahu kalau aku mau menikah. Aku juga sudah mengajukan cuti jauh hari karena ingin menemuimu."

Qafiya terlihat bingung.

"Setelah nikah, aku tinggal di mana?" tanya Qafiya, dia tidak mau luntang lantung lagi.

"Terserah kamu, aku bisa membelikan rumah di manapun kamu mau. Jadi sekarang pikirkan, kamu mau ujian sekarang lalu menikah, atau kita tunda lagi?"

Pandangan itu terlihat jelas, masa depan bersama Qaishar sangatlah cerah, lalu apa yang membuat Qafiya ragu?

Pertanyaannya masih sama, apakah dia benar-benar ingin hidup bersama Qaishar atau tidak? Apakah dia sungguh mencintai pria di depannya itu atau tidak?

Bersambung

Novel ini babnya gk banyak.


Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang