2. Impian Qaishar

723 125 14
                                    

Sama seperti paman yang kecewa pada Qafiya, rupanya Pak Kyai juga kecewa atas penolakan perjodohan hingga merestui pernikahan dadakan antara Qafiya dan Qaishar.

Saat Qafiya protes kenapa dia malah dinikahkan dengan Qaishar, semua sudah terlambat, secara agama pernikahan itu sah.

"Apa maksud Pak Kyai merestui pernikahan ini?" tanya Qaishar di saat Qafiya meraung-raung di hadapan pamannya.

"Qafiya butuh bimbingan, Fadil tidak mampu melakukan itu, tapi saya yakin kamu mampu melakukannya, Qafiya adalah putri sahabat saya yang berharga. Dia tidak mau terkekang di sini, tapi saya sama seperti Ustadz Yusuf yang tidak tega melepas Qafiya ke dunia luar tanpa pendamping."

Qaishar mengepalkan tangan, dia merasa tidak sanggup melakukan amanah yang begitu besar. Ada cita-cita yang ingin dia gapai, tapi pernikahannya dengan Qafiya akan menjadi penghalang.

Namun, Qaishar tidak berani menolak ataupun bicara terus terang, dia terlalu tunduk pada perintah Pak Kyai yang sangat dia hormati.

"Kalau kamu tidak sanggup menghadapi Qafiya, kembalikanlah dia ke sini, kami akan menjaga Qafiya lagi."

Begitulah pesan Pak Kyai.

"Berkemaslah, ilmu mu sudah cukup, tidak perlu sampai menunggu minggu depan. Sebelum banyak rumor yang tidak benar beredar. Pergilah bersama Qafiya."

Itu bukan pengusiran, tapi sebuah kepercayaan yang diberikan Pak Kyai untuk Qaishar.

Sebagai murid dia hanya bisa menurut. Hari itu ia berkemas setelah pulang dari rumah dhalem. Setahu orang, mereka diusir.

Mereka pergi dengan naik motor, diiringi tangisan Qafiya dan segala kekesalannya. Sementara Qaishar hanya fokus pada jalan. Dia akan ke rumah neneknya dulu sebelum kembali ke Jakarta.

Mereka butuh istirahat.

Setelah setengah jam Qafiya menangis, dia mulai mengoceh tentang pamannya yang kejam. Juga tiba-tiba merasa bersyukur karena tidak terjebak di dalam pesantren.

Tiba-tiba motor sulit digas, Qaishar menepi, menurunkan barang-barang dan melihat apa yang salah dengan motornya.

"Kenapa? Mogok?"

"Tolong ambilkan alat-alat di tas," perintah Qaishar yang tengah fokus pada motornya.

Qafiya membuka ransel Qaishar, ia tak sengaja menemukan formulir pendaftaran anggota TNI AD. Matanya terbelalak karena Qaishar sudah mengisinya. Berkas itu tinggal dikirim saja.

"Kamu daftar TNI?" tanya Qafiya membuat Qaishar langsung berdiri, ia berbalik dan merebut berkas tersebut.

"Gak jadi."

Qaishar langsung menyobek kertas tersebut dan membuangnya.

"Apa karena sudah menikah denganku kamu gak jadi daftar?" tanya Qafiya pelan. Tidak ada jawaban. Pemuda itu malah mencari alat-alat motor di tasnya. Mengabaikan pertanyaan.

Salah satu syarat mendaftar adalah lajang, belum menikah. Tapi sekarang Qaishar sudah menikah, dia harus mengubur impiannya.

Mungkin karena tidak fokus, motor tidak berhasil diperbaiki, mereka kembali berjalan sembari mencari bengkel terdekat.

"Karena aku ya?" tanya Qafiya lagi, nadanya merasa bersalah.

Qaishar tetap diam.

"Aku bakal tanggung jawab. Aku bakal nafkahin kamu, kalau pun nanti kamu mau nikah lagi, aku bakal tetap nafkahin kamu sama istrimu."

Qafiya mengatakan itu dengan lantang di pinggir jalan. Gadis berusia 18 tahun itu mendorong motor dengan setengah tenaga, orang-orang memerhatikannya dengan aneh.

"Kamu udah nggak waras," balas Qaishar. Kesal karena istrinya terus bicara.

"Ini bentuk pertanggung jawaban ku karena kamu gagal jadi TNI."

Beberapa hari lalu, kehidupan mereka masih baik-baik saja. Qaishar baru saja menyelesaikan pendidikan S1 di usianya yang ke 21 tahun dan hendak mendaftar menjadi TNI-AD.

Sedangkan Qafiya, masih menjadi calon istri Gus Fadil. Tanggal pernikahan mereka bahkan sudah ditentukan.

Namun, semua gagal dan berantakan hingga mereka kini keluar dari pesantren dengan status suami istri.

Qaishar mengembuskan napas berat. Tidak memedulikan ocehan Qafiya yang berkata dia punya bakat mencari uang.

Beruntung di depan ada bengkel, motor berhasil diperbaiki setengah jam kemudian. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan ke Malang.

Sesampainya di sana hampir magrib, kakek nenek Qaishar terkejut, cucu kesayangan mereka datang membawa seorang gadis cantik.

"Ceritanya panjang, sekarang kami butuh istirahat dulu." Ungkap Qaishar yang sudah kelelahan.

"Nak, Cantik ini--"

"Nama saya Qafiya, Nek."

"Cantik sekali seperti namanya, ayo masuk. Kamu pasti lelah, Nenek siapkan air hangat untuk mandi dan makan malam."

Qaishar menghempas tubuhnya di sofa, pinggangnya sakit sekali.

"Gak usah pake air anget, Nek. Biarin dia mandi pakai air biasa aja."

Kalimat Qaishar langsung mendapatkan lirikan tajam dari Qafiya. Bibir gadis itu cemberut.

"Gak usah dengerin Qaishar, dia emang kayak gitu." Nenek membawa Qafiya masuk ke dalam.

Qaishar memejamkan mata, ngantuk sekali. Tapi dia langsung beranjak, membawa tasnya ke sebuah kamar.

Selesai mandi dan makan, Qaishar menjelaskan tentang Qafiya. Nenek kakeknya bisa mengerti meskipun mereka tidak yakin dengan Qaishar. Anak itu terkenal cuek sejak kecil. Tidak yakin bisa bersikap hangat pada Qafiya atau tidak.

"Kalau amanahnya Pak Kyai seperti itu, berarti harus kamu jalankan."

Kakek yang memilihkan pesantren untuk Qaishar beberapa tahun lalu, tentu beliau kenal dengan Pak Kyai yang terkenal dengan doanya yang mujarab.

"Aku yakin Bunda gak setuju," ucap Qaishar.

Bunda sangat ingin dia menjadi anggota TNI, demi menghindari para pemburu, yakni musuh-musuh almarhum ayahnya yang seorang bandit terkenal.

Sejak kecil, Qaishar jarang bersama Bunda. Bukan tidak sayang, tapi demi menyelamatkan nyawanya. Dia memiliki orang tua asuh, lalu dilempar sana sini untuk menghindari para pembunuh.

Bunda pikir, setelah Qaishar menjadi anggota TNI, dia akan terbebas dan tidak takut berhadapan dengan para kriminal lagi. Juga mengubur masa lalu kelam almarhum ayahnya.

Malam itu, Qafiya menghampiri Qaishar yang sedang minum kopi di teras.

"Kalau Bundamu keberatan, aku bisa kok hidup sendiri. Aku cuma mau nebeng sampai Jakarta aja, setelah itu kita bisa hidup masing-masing seolah gak terjadi apapun."

Rupanya Qafiya mendengar kata keberatan itu.

Qaishar menggeleng, walaupun dia tidak menyukai Qafiya, tapi gadis itu sudah menjadi tanggungjawabnya.

"Sekarang kamu tanggung jawabku. Itu amanah Pak Kyai dan pamanmu."

"Tapi kamu keberatan 'kan? Gimana soal impian mu jadi TNI? Gimana orang tuamu? Gimana masa depan kita yang masih muda ini?"

"Kalau kamu berpikir ke sana, seharusnya dari awal gak pernah memberontak dan membuatku terlibat seperti ini."

"A-aku gak bermaksud buat--"

Qaishar berdiri. "Sudahlah, cepat tidur sana. Besok kita lanjutkan perjalanan ke Jakarta."

Qaishar pergi meninggalkan Qafiya dengan dingin.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang