16. Suka

528 104 15
                                    

Malam itu begitu sunyi ketika Qaishar mengantar Qafiya ke tendanya, tak ada kata yang keluar sejak perdebatan di meja makan tadi. Mereka melewati rombongan anak pesantren yang baru pulang ngaji malam.

Bulan yang bersinar terang dan bintang-bintang berkelip tak mampu membuka kebisuan di antara mereka.

Qaishar menoleh ke samping, melihat wajah Qafiya yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Gadis manis itu mungkin tidak menyangka masih memiliki suami.

Selama ini Qaishar tidak memberitahunya karena ia ingin Qafiya fokus belajar, dia suka melihat gadis itu sibuk dengan cita-citanya.

Meskipun tidak memiliki apapun, tapi Qafiya masih memiliki tekad luar biasa, tidak mudah menyerah dan memiliki pendirian kuat. Dia suka Qafiya yang seperti itu.

"Besok aku akan pergi ke gunung untuk evakuasi warga," ucap Qaishar menghentikan kecanggungan.

Gadis itu segera menoleh, kepalanya sedikit mendongak. "Itu kan bahaya, gimana kalau ada erupsi susulan?"

Qaishar mengangkat bahu, itu sudah jadi tugasnya. Apapun resikonya, dia harus tetap menjaga negara ini.

Tak hanya negara, tapi juga orang-orang yang berada di dalamnya, termasuk orang yang dia cintai. Terutama, gadis manis yang ada di hadapannya ini.

"Besok pulangnya jam berapa?" tanya Qafiya lagi.

"Mungkin malam, kenapa?"

Qafiya menggeleng, dia terlihat gelisah. "Hati-hati."

Qaishar hanya mengangguk, mereka masih berjalan menuju gerbang pondok. Dulu Qaishar hanya bisa melihat Qafiya melewati gerbang itu dari kejauhan.

Meski asrama putra dan putri dipisah, tapi gerbang keluar pondok hanya satu. Qaishar sering melihat Qafiya melamun di gerbang itu. Seolah berharap ada yang menjemputnya.

Dia tidak berani menyapa, saat itu Qafiya milik Gus yang harus dia hormati. Ia hanya bisa melihat dari kejauhan, kadang ia tak sengaja melihat Qafiya di perpustakaan pondok.

Gadis itu suka membaca, ia juga mengajari anak-anak lain di sana. Padahal saat itu Qafiya baru lulus SMA, tapi sudah seperti guru profesional. Setiap Qafiya menjelaskan pelajaran, tanpa sadar Qaishar tidak jadi mengambil buku dan ikut mendengarkan.

"Dia suka belajar," gumam Qaishar saat itu.

Dia pikir pilihan tepat menjadikan Qafiya ibu nyai, walaupun pengetahuan tentang agamanya kurang, tapi pengetahuan umumnya sangat luas. Bisa mengimbangi Gus dalam memimpin pesantren di masa depan.

Toh pesantren ini juga terdiri dari sekolah SMP-SMA. Jadi tidak hanya tentang ilmu agama saja.

"Oh ya, gimana Nihla?" tanya Qafiya saat mereka sampai gerbang.

"Dia kerja di Jakarta."

"Maksudnya hubungan kalian?"

"Kami tidak ada hubungan apapun."

"Tapi Nihla kan suka banget sama kamu."

"Apa aku harus membalas perasaan setiap orang yang suka padaku?" tanya Qaishar balik.

"Bukan gitu, tapi kalian kan udah--"

"Apa aku gak boleh menyukaimu hanya karena ada gadis yang menyukaiku?" Potong Qaishar membuat Qafiya langsung terdiam.

Di gerbang yang dulu hanya bisa memandang, kini Qaishar bisa jujur pada perasaannya sendiri. Rasa yang tadinya hanya tertarik, perlahan menjadi rasa suka.

Itu juga yang menjadi alasannya mempertahankan ikatan pernikahan, seperti keajaiban ia bisa menikah dengan wanitanya Gus. Gadis manis yang dulu tak berani untuk ia sukai.

"Aa... aa ku duluan." Pipi Qafiya memerah, ia berbelok duluan.

"Tendamu di sebelah kanan," kata Qaishar.

Qafiya langsung balik badan dan berjalan cepat, dia sampai linglung. Tingkahnya sangat lucu hingga membuat bibir Qaishar tersenyum.

Qaishar mengikuti Qafiya dari belakang sampai ke tendanya, teman-teman Qafiya sudah menunggu, mereka banyak bertanya tapi Qafiya terus terbata-bata, seolah pikirannya tidak fokus.

Keesokan harinya Qaishar bersiap untuk mengevakuasi warga, ia mempersiapkan perbekalan bersama rekannya, lalu naik mobil TNI dengan bak terbuka.

Di ujung sana, ia melihat Qafiya mengintipnya. Padahal gadis itu bisa mengucapkan selamat jalan secara terang-terangan.

Saat Qaishar melambai, Qafiya melotot dan langsung pura-pura tidak melihat, gadis itu balik badan hampir menabrak tenda. Sekali lagi Qaishar tersenyum.

"Kenapa senyum gitu? Bikin merinding aja." Ungkap rekan Qaishar.

"Setelah pulang dari sini, aku akan mengirim undangan pernikahan untukmu."

"Kau mau menikah?"

"Aku akan merayakan pernikahanku dengan upacara pedang Pora yang megah."

"Wah, orang kayak kamu ternyata bisa nikah. Hebat!"

"Itu pujian atau hinaan?"

Sahabat karib Qaishar itu menepuk pundak Qaishar. "Dua-duanya."

Mobil melaju meninggalkan tempat pengungsian, ada beberapa mobil beserta belasan personil. Gunung Semeru masih mengeluarkan asap. Ini bukan pertama kalinya Qaishar terjun ke tempat bencana.

Hanya saja kali ini dia sedikit khawatir, ia ingin segera kembali dan bertemu Qafiya lagi.

Setelah melewati medan berat, mobil sampai ke perkampungan paling jauh dari gunung. Di sana masih banyak orang yang harus dievakuasi.

"Ada Mbah Luwo yang tinggal di ujung desa sana, beliau susah jalan, tolong evakuasi juga." Pinta salah satu warga pada Qaishar.

Dia bertanya pada komandan, satu mobil yang dikendarai Qaisar diperintahkan ke sana. Menjemput Mbah Luwo.

Sesampainya di sana, Mbah Luwo enggan ikut. Katanya hidup dan mati ingin di rumahnya sendiri. Dia sudah lama hidup sebatang kara, mati pun tidak masalah.

"Warga desa mengkhawatirkan Mbah, jadi ayo ikut."

"Halah ngapusi!"

Teman Qaishar menyenggol. "Gunung Semeru mau erupsi lagi, ayo kita pergi aja. Yang penting kan kita udah usaha bawa dia."

Qaishar bimbang, gempa bumi menggoyangkan rumah itu. Pertanda akan ada sesuatu dari gunung.

"Pergi sana!" Perintah Mbah Luwo.

Orang tua itu tak hanya mengancam nyawanya sendiri, tapi juga membahayakan nyawa Qaishar dan rekannya.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang