6. Pilihan

773 103 14
                                    

Merusak hubungan orang lain adalah tindakan yang sangat buruk, Qafiya merasa tidak enak pada Qaishar dan tunangannya. Juga pada Bunda yang kecewa dengan sikap Qaishar.

Gadis itu pun berlari keluar, mencoba berbicara dengan Nihla. Dia mencari ke samping rumah, berpikir bahwa Nihla mungkin telah pergi.

Namun, suara isak tangis di belakang rumah membuat Qafiya menoleh. Di sana ada Nihla, gadis itu mencari sesuatu di rerumputan.

"Cincinku... aku mohon jangan hilang." Nihla terus bergumam, tak peduli tangan dan lututnya yang kotor, gadis itu terus merangkak.

Qafiya melangkah mendekat, "maaf. Semua ini karena aku. Sumpah, aku gak tahu kalau Qaishar sudah punya tunangan, kalau tahu aku gak bakalan ngikutin dia ke sini. Aku bisa jelasin semuanya, aku sama Qaishar juga terlalu kenal kami--"

Mendengar kalimat itu, Nihla mendongak ke atas. Pipinya basah air mata, ntah kenapa gadis yang penuh emosi tadi sadar sesuatu. Qafiya terdiam.

"Kalian gak saling kenal?"

"Iya."

Nihla kembali menunduk, air matanya menetes ke rumput. Tangannya mengepal kuat hingga tanah masuk ke kukunya.

"Dia coba membuatku pergi, dia gak mau aku terluka lagi." Nihla bergumam tak jelas, Qafiya mendekat, mencoba mendengarkan Nihla, tapi gadis itu terus menangis.

Qafiya berjongkok, ia tak tahu harus berbuat apa melihat Nihla tersedu-sedu. Perlahan, tangan Qafiya terulur, menepuk pelan punggung Nihla.

Nihla kembali mencari cincin pertunangannya, tapi tidak ketemu. Dia menyerah dan pergi setelah mendapatkan telepon, ia tidak mengatakan apapun pada Qafiya.

"Kayaknya gara-gara aku, tapi kok rasanya bukan gara-gara aku, apa emang mereka ada masalah sendiri." Qafiya menggaruk kepalanya. Dia berjalan masuk ke dalam.

Tak ada orang, dia ke dapur. Ada Bunda dan seorang pembantu yang sedang masak untuk makan malam.

"Bunda ... ada yang bisa Fiya bantu?"

Bunda menoleh. "Oh iya, namamu siapa?"

"Qafiya."

"Umurmu berapa?"

"Delapan belas tahun."

"Orang tuamu di mana?"

"Papa udah meninggal, terus Mama udah nikah lagi."

Bunda mengangguk-angguk kepalanya, ia mengerti kenapa Qaishar ingin menjaga gadis di hadapannya.

"Istirahatlah, nanti makan malam Bunda bangunin."

Qafiya menggeleng, dia numpang jadi sungkan kalau hanya makan.

"Aku gak capek kok, Bun. Aku juga seneng masak."

Qafiya segera mengambil sayuran yang hendak dipotong. Dia tersenyum lebar. Sebenarnya ia takut Bunda marah padanya. Gara-gara dia, Nihla dan Qaishar jadi bertengkar.

"Kamu ketemu Qais di mana?" tanya Bunda lagi, beliau memotong wortel.

"Di pondok, ada kesalahpahaman terus aku diusir keluar, jadinya paman nitipin aku ke Qais."

Bunda tak bertanya lebih, ia fokus memotong wortel.

"Bun ...." Panggil Qafiya.

"Iya."

"Aku minta maaf, karena aku pertunangan Qais--"

"Bukan salahmu, kehidupan dan hati Qais memang sudah rumit sebelum kamu datang. Jadi jangan salahkan dirimu."

"Tapi gara-gara aku, Qais jadi kesulitan."

Bunda kembali memotong wortel. "Bunda yang membuat Qais kesulitan, karena Bunda kurang cakap, anak itu jadi menderita dalam waktu lama. Bunda harap setelah dia jadi TNI, hidupnya akan lebih mudah."

Qafiya terdiam, sepertinya Qaishar belum bicara pada Bunda tentang gagal mendaftar.

Makam malam sangat hening, tak ada yang bicara, rupanya Paman dan pembantu rumah adalah penghuni tetap rumah ini. Mereka bahkan makan satu meja tanpa rasa canggung atau perbedaan status.

"Kamu mau ngunjugin Papa Mama mu gak?" tanya Bunda pada Qais.

"Iya, besok."

"Ajaklah Qafiya, sekalian lihat-lihat kampus dan tempat kursus."

"Hmm." Qaishar kembali makan.

"Kampus?" tanya Qafiya.

"Bukankah kamu mau kuliah?" tanya Bunda.

"Aku mau kerja, Bun. Kalau udah dapat kerja dan kosan, aku bakal pergi."

"Gak boleh," kata Qaishar.

"Kenapa gak? Aku harus cepet pergi, kalau gak Nihla bisa semakin salah paham."

"Nihla bukan urusanmu, tugasmu hanya nurut padaku."

"Aku gak mau jadi perusak hubungan orang, jadi aku bakal tetap pergi setelah dapat kerja. Aku udah selesai makan, aku ke kamar duluan."

Qafiya meninggalkan meja makan, membuat semua orang melihatnya naik ke lantai dua. Gadis itu terlihat sangat keras kepala.

"Kamu harus jelasin ke dia," ucap Bunda.

Qaishar malah kembali makan.

"Dia emang keras kepala, Bun. Makanya pamannya gak sanggup ngrawat dia."

Paman meletakkan sendok, "Kayaknya dia emang masih puber, berapa umurnya?"

"Berapa ya, gak tahu," jawab Qaishar.

"Delapan belas," ujar Bunda.

"Umur segitu memang lagi panas-panasnya," imbuh Bibi memasukkan nasi ke mulutnya.

"Aku urus dia dulu," ucap Qaishar menyudahi makan malamnya.

Bunda menyangga dagu, melihat putranya menuju lantai dua.

"Rasanya kayak Qais punya adik perempuan."

Mereka melanjutkan makan, sementara Qais mengetuk pintu Qafiya, tak lama kemudian pintu terbuka. Rupanya tadi dia sudah lepas hijab dan buru-buru memakainya lagi.

"Ada apa?"

"Aku mau bicara bentar," ucap Qaishar.

Dia masuk ke dalam, duduk di kursi depan meja rias.

"Cewek cowok gak boleh satu kamar, nanti jadi fitnah." Qafiya masih berdiri di depan pintu.

Qaishar mengerutkan keningnya. "Kamu lupa aku suamimu?"

Qaishar melambaikan tangannya, menyuruh gadis itu duduk di ranjang, berhadapan dengannya.

"Dih." Qafiya hanya bisa menurut.

"Aku punya beberapa pilihannya untukmu."

"Pilihan apa?"

"Pertama, kita daftarkan pernikahan ke KUA lalu kamu jadi ibu rumah tangga nemenin Bunda dan aku kerja. Atau kita gak daftarkan pernikahan dan kamu kuliah aku daftar TNI."

"Pilihannya cuma itu? Kenapa gak ambil pilihan ketiga, aku kerja dan kita gak usah ketemu lagi. Kita hidup masing-masing seperti orang asing?"


Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang