9. Mama

478 88 12
                                    

Sekarang gadis itu sendiri lagi, sama seperti saat Papa baru meninggal. Mama sudah memiliki hubungan dengan pria lain saat Papa masih sakit. Setelah Papa meninggal mereka pun langsung merencanakan pernikahan. Waktu itu Papa tahu dan katanya ikhlas Mama menikah lagi.

Di rumah Papa yang sunyi, Qafiya yang masih remaja bekerja dan menafkahi diri sendiri. Hingga rumah warisan itu dijual Mama, lalu dia harus ikut paman. Mengubur mimpinya untuk kuliah. Padahal sebelumnya dia masuk sekolah swasta unggulan.

Bersama Paman, dia belajar agama dan menjadi calon istri Gus. Dia pikir hidupnya akan berakhir di pesantren, tapi ternyata Tuhan memberikan keajaiban, menghadirkan Qaishar dan mengantarnya ke sebuah impian.

"Pertemuan kita singkat, tapi aku gak bakal lupain jasamu. Semoga kamu bahagia dan sukses selalu," gumamnya sembari menata barang-barang.

Gadis itu tak terlalu memikirkan hidupnya yang sebatang kara, Papa selalu mengajarkan untuk hidup mandiri, jadi dia sudah terbiasa hidup sendiri.

Qafiya pergi les dari pagi hingga sore, setelahnya masih belajar sampai larut malam. Dia libur di hari Jum'at untuk ikut kajian. Ia percaya Allah selalu menyertai setiap langkahnya.

Hari itu dia ke kampus, mengurus administrasi penerimaannya.

"Fiya! Sudah lama gak ketemu?" Sapa salah satu temannya saat SMA.

"Xana, ya ampun udah setahun ya."

"Kamu ke mana aja? Aku pikir kamu bakal masuk UI."

"Ini aku masuk UI, hehe. Tapi telat setahun."

Qafiya menunjukkan berkas penerimaannya, ia akan daftar ulang sekalian lihat-lihat kampus.

"Kok telat, kayaknya tahun kemarin kamu udah diterima."

"Tahun kemarin aku masih ribet, jadi belum bisa kuliah."

"Kamu ambil jurusan apa?" tanya Xana. Mereka menuruni tangga. Tepat di halaman yang luas.

"Kedokteran."

Xana mengangguk-anggukkan kepalanya, sudah menduga hal itu. "Kita bakal sering ketemu, aku juga ambil kedokteran."

Qafiya merasa kehidupannya yang dulu perlahan kembali, semua ini berkat bantuan keuangan dari Qaishar. Tanpanya, ia tidak mungkin bisa meraih cita-cita dan meneruskan pendidikan.

"Mama mu masih kayak dulu?" tanya Xana.

"Kayak dulu gimana?" Gadis berhijab itu menelengkan kepalanya, melihat sahabatnya yang menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.

"Ya kayak gitu." Xana mengangkat bahu, enggan menjelaskan maksud pertanyaannya.

Qafiya menganggukkan kepala, mengiyakan. Mamanya sering main, jarang di rumah dan kurang peduli dengan pendidikannya. Di saat para orang tua lain berlomba-lomba mencarikan tempat les dan berkumpul untuk menjalin relasi pertemanan anaknya.

Mamanya Qafiya lebih mementingkan diri sendiri, tidak peduli dengan nilai putrinya.

"Mama yakin kamu pintar, buktinya selalu juara satu, jadi gak perlu lagi les." Begitulah katanya.

"Tapi masuk fakultas kedokteran itu saingannya ketat, Ma. Gimana kalau aku kalah saing? Teman-teman ku aja ikut les."

"Yaudah minta cariin tempat les sama Papamu sana, Mama mau pergi dulu."

Mama selalu berdandan menor, katanya tidak mau disebut tua. Ntah apa yang dicari di luar sana, padahal mereka adalah orang yang berkecukupan.

"Mamaku udah nikah lagi, aku juga jarang chataan sama Mama."

Qafiya menunjukkan kartu keluarga yang hanya berisi dirinya sendiri, lalu memasukkan kartu itu kembali ke dalam berkas.

"Oh gitu, oh ya Mamaku nanyain kamu, kapan-kapan kamu mampir ke rumahku. Aku pernah ke rumahmu tapi udah ditempatin orang, sekarang kamu tinggal di mana?"

"Aku tinggal di apartemen, nanti aku kasih alamatnya."

"Yaudah kalo gitu sekarang aku ajak kamu keliling kampus."

Qafiya mengangguk, mengikuti langkah Xana dan cerita-ceritanya tentang kampus.

Dia senang karena bertemu teman lama, sekarang dia tidak malu dengan keadaannya yang baru saja bangkit. Xana sering main ke apartemennya. Qafiya juga sering main ke tempat Xana.

Terutama ketika lebaran, dia bahkan menginap di sana. Orang tua Xana yang minta, katanya supaya Qafiya tidak kesepian di hari raya.

Pernah Qafiya chat Mamanya, ia ingin berkunjung di hari raya.

"Gak bisa, kami mau mudik ke kampung halaman suami Mama. Kamu gak boleh ikut."

"Oh yaudah. Minal aidzin wal Faizin aja ya Ma."

"Iya, udah jangan chat Mama lagi. Mama sibuk nyiapin kue lebaran."

Setiap tahun seperti itu, walaupun kesepian tapi Qafiya tidak ambil pusing. Baginya sendirian juga tidak masalah, malah bisa full rebahan.

Dia juga tipe orang yang malas berinteraksi, ia lebih suka menghabiskan waktu menonton film atau membaca buku di kamar.

Kadang ia merasa kesal melihat story wa mamanya yang liburan ke sana sini bersama keluarga barunya. Mama benar-benar tidak menganggapnya anak lagi.

Tahun demi tahun berganti, tanpa terasa kini Qafiya sudah koas. Jam tidurnya semakin berantakan, jarang istirahat dan kesehatannya memburuk karena kelelahan.

Di saat lelah seperti itu Mamanya chat untuk pertama kalinya setelah beberapa bulan.

"Nak, Papa tirimu meninggal."

"Innalilahi wa innailaihi rojiun, semoga semua amal ibadahnya diterima. Mama yang sabar ya."

"Sekarang Mama bingung gimana biayain adik-adik kamu."

Dari chat yang baru dikirim itu, Qafiya terpaku, perasaannya tidak enak.

"Semoga rezeki Mama dilancarkan," jawab Qafiya sekenanya.

"Aamiin, tapi mereka beruntung memiliki kakak calon dokter sepertimu. Mama juga tenang setiap ingat kalau Mama masih punya kamu."

"Mama bisa cerita kok sama aku."

"Mulai bulan ini kamu ya yang biayain adik-adikmu. Kasihan mereka masih kecil-kecil."

Qafiya hanya bisa nyengir melihat chat tersebut. Dia bahkan tidak kenal sama sekali dengan adik-adiknya. Setiap berkunjung selalu diusir.

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang