13. Kembali Ke Pondok

415 87 37
                                    

Sepertinya kali ini Qafiya tidak perlu bertanggung jawab atas Mama dan adik-adiknya lagi. Suami yang kata Mama meninggal kini ada di hadapannya, sedang merokok dan minum kopi depan TV.

Tanpa rasa bersalah sedikitpun, hanya melirik Qafiya sekilas lalu mengabaikannya. Padahal selama dia pergi, Qafiyalah yang mengurus istri dan anak-anaknya.

"Emang orang mati bisa hidup lagi, Ma?" tanya Qafiya pada Mamanya yang terlihat panik.

"Sebenarnya Papamu--"

"Papaku udah lama meninggal!" Potong Qafiya. Menoleh dengan tatapan tajam.

Mama salah tingkah.

"Maksud Mama Papa tirimu gak meninggal, dia ditipu temannya lagi setelah hutang sama rentenir, makanya kabur buat sembunyi."

"Lalu kenapa dia ada di sini?" tanya Qafiya kesal.

"Kita ini kan keluarga, jadi harus bareng-bareng. Lagi pula tempat ini juga aman, para rentenir itu gak tahu kalau Papamu di sini."

"Jangan sekali-kali Mama nyebut dia Papaku, aku gak akan lupa semua perlakuannya selama ini."

Qafiya sangat kesal, dia langsung masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Tidak ada lagi alasan baginya untuk bertahan di sini, orang itu sudah kembali dan tidak jadi mati, berarti adik-adiknya bukan anak yatim lagi.

Qafiya akan ikut menjadi relawan supaya bisa pergi dari Mama, tak apa menunda ujian SKD. Dia ingin segera pergi jauh dari Mama yang selalu menipunya.

Di grup angkatan, ia mengabari akan mengajukan diri sebagai tenaga medis untuk gunung Semeru, teman-temannya langsung heboh. Ujian sudah di depan mata tapi Qafiya malah jadi relawan.

"Dekat Gunung Semeru ada pamanku, aku khawatir pamanku kenapa-napa." Begitulah alasan Qafiya.

"Tapi kamu gak tahu kapan bisa balik loh, bisa sebulan bisa dua bulan atau lebih. Gimana sama ujianmu?" tanya salah satu temannya.

"Aku ikut ujian selanjutnya juga gak papa."

Itu sudah menjadi keputusan Qafiya, ia tidak mau cepat-cepat menjadi dokter. Mama akan memanfaatkannya lagi. Belum jadi dokter saja ia sudah diperas habis-habisan.

Teman-teman Qafiya diam, hanya satu orang yang mengajukan diri ingin ikut Qafiya. Namanya Mario, dikenal sering membantu Qafiya walaupun beda tempat koas.

Besoknya dua teman lagi mengikuti jejak mereka, mengajukan diri sebagai relawan. Hari berikutnya lagi bertambah satu orang. Total 5 orang dari angkatan mereka yang rela menjadi relawan.

Qafiya belum bicara pada Mamanya, ia hanya mengambil bajunya sedikit demi sedikit untuk dititipkan di rumah Xana. Kalau izin sudah pasti tidak diperbolehkan. Beruntung, ia KKnya hanya sendiri.

"Rokokku habis, beliin sana."

"Qafiya belum ngasih uang, tunggu sampai dia keluar kamar."

"Cih, ini cuma tinggal sebatang, cepetlah kau beli! Katamu anak itu banyak uang!"

"Iya sabar. Nanti aku minta uang ke Fiya."

Percakapan mereka terdengar oleh Qafiya yang baru selesai mandi. Dia mengabaikan ayah tirinya, tidak pernah menyapa apalagi mengobrol. Dia berlalu masuk kamar, bersiap untuk pergi ke tempat berkumpul.

Selama tinggal di sini, Ayah tirinya tidak bekerja, setiap hari hanya main ponsel, merokok dan nonton TV. Malam hari selalu keluar untuk nongkrong atau pergi memancing.

Qafiya pernah tanya ke Mamanya kenapa suami Mama tidak cari kerja? Jawabannya takut bertemu rentenir.

"Sebentar lagi kamu kan jadi dokter, nggak perlulah nyuruh ayahmu kerja, dari pada ditangkap rentenir lebih baik ayahmu di rumah aja."

Mama membahasakan 'Ayah' karena Qafiya selalu marah disuruh memanggil 'Papa'.

"Jadi, aku harus ngidupin orang itu juga?" tanya Qafiya.

Rokok sehari habis dua bungkus, setiap nongkrong minta uang. Jangan ditanya uangnya dari mana, tentu dari Mama yang minta ke Qafiya.

Uang kiriman langsung ludes hanya dalam waktu beberapa hari saja. Qafiya sangat tidak tahan dengan keadaan ini. Keputusannya untuk pergi sudah bulat. Dia tidak akan membiarkan mereka memanfaatkannya lagi.

"Ma, aku mau pergi."

Qafiya membawa ransel besar di punggungnya, semua perlengkapan selama menjadi relawan sudah siap.

"Nak, uang dapur sudah habis. Mama minta sejuta lagi ya? Oh ya, kapan kamu bisa bayar sewa rumah ini? Pemiliknya udah nanyain."

Qafiya melirik ayah tirinya yang menonton TV sembari ngopi, tidak memedulikan keuangan rumah ini sedikit pun.

"Mama minta sama suami Mama, kan kalian yang nempatin rumah ini. Aku sudah pindahkan semua barang-barangku. Oh ya, sekolah Eza bukan lagi tanggung jawabku karena ayahnya sudah ada."

"Kok kamu ngomongnya gitu, kita ini kan keluarga. Kalau kamu gak mau tinggal bareng di sini, kamu mau ke mana, Nak?"

"Tanyakan itu padaku 5 tahun lalu, sebelumnya aku terlunta-lunta tinggal di mana kalian gak peduli."

"Nak--"

"Aku pergi dulu, jangan cari aku ke rumah sakit atau kampus. Aku pergi dulu Wassalamualaikum."

Qafiya pergi tanpa memedulikan panggilan Mama dan teriakan panik ayah tirinya, sekarang pria itu tidak bisa numpang hidup lagi dengan Qafiya. Terserah mereka bisa membayar sewa atau tidak, Qafiya tidak peduli.

Setelah berkumpul, ia dan para tenaga medis lainnya terbang ke Jawa Timur, dilanjutkan dengan mobil hingga dijemput anggota TNI menuju lokasi.

Qafiya kenal jalan ini, meskipun sudah lama berlalu dia masih hafal jalan menuju pesantren.

Saat mobil berhenti dan mereka turun, benar saja. Ternyata tempat pengungsian Gunung Semeru adalah lapangan samping pesantren.

"Dia akan memandu kalian ke pos," ucap TNI yang menjemput mereka tadi.

Qafiya mengangkat ranselnya, ia berjalan paling belakang. Ia melihat sekeliling, sudah banyak tenda didirikan.

Teman-teman Qafiya masuk ke sebuah tenda medis, saat dia hendak mengikuti tiba-tiba seorang anggota TNI menghadangnya. Dia mendongak, sangat terkejut melihat wajah pria berbaju corak itu.

"Qaishar?"

Hadiah Pedang Pora (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang