Keadaan Qafiya saat ini tidak bisa membiayai siapapun, ia sendiri masih banyak hutang pada Qaishar. Setiap bulan uang di kartu yang dulu diberikan terus bertambah, mungkin Bunda berpikir bahwa ia kekurangan.
Dia pernah chat Qaishar bahwa hidupnya lebih dari cukup, ia tidak mau banyak hutang. Dia bahkan bisa menyewa apartemen, bukan kosan lagi.
Jadi bunda tidak perlu mengirimkan uang lagi, tapi mungkin Bunda bersikeras makanya uang tetap terkirim. Meskipun demikian, Qafiya tidak menggunakan untuk foya-foya, ia tahu bahwa itu hutang dan harus dibayar suatu hari nanti.
"Maaf, Ma. Aku sendiri hutang sama orang buat kuliah. Aku belum kerja, aku nggak bisa ngirim uang ke Mama."
"Jadi kamu tega biarin Mama sama adik-adik kamu mati kelaparan?"
Qafiya mengembuskan napas berat.
"Bukan gitu, tapi aku beneran gak bisa bantu. Aku sendiri masih kuliah belum kerja."
"Kamu tinggal putus kuliah trus kerja. Adik-adik kamu masih kecil, masa depan mereka masih panjang. Kalau bukan kamu yang biayain mereka, siapa lagi?"
Mendengar permintaan Mama membuat Qafiya naik pitam, dia susah payah kuliah dan menjalani koas selama setahun ini. Badan lelah dan tulang-tulang terasa remuk berusaha diabaikan, demi menjadi seorang dokter yang sudah di depan mata. Tapi seenaknya Mama minta dia berhenti.
"Mamalah yang biayain, Mama kan orang tuanya, aku gak ikutan bikin mereka, kenapa sekarang mereka jadi tanggung jawabku?"
"Tega ya kamu bilang kayak gitu ke Mama?"
"Mama lebih tega ke aku, nguliahin aku nggak tapi seenaknya nyuruh aku putus kuliah cuma buat biayai anak-anak Mama."
"Walaupun Mama gak biayain kuliahmu, tapi Mama yang melahirkanmu, Mama yang besarin kamu! Sudah seharusnya kamu balas budi!"
"Mama nyuruh aku balas budi buat kehidupan yang gak layak? Seingatku dari kecil aku diasuh sama baby sitter. Mama cuma hambur-hamburin duit Papa dengan alasan stres di rumah. Selama ini aku masih bersikap baik sama Mama walaupun Mama ngabisin warisanku karena aku inget Mama yang ngelahirin aku, tapi kalau buat putus kuliah dan biayain anak-anak Mama. Gak dulu deh, mending kita putus hubungan."
"Qafiya! Anak durhaka--"
Qafiya menutup telepon selulernya, napasnya naik turun, kepalanya berdenyut. Selama ini dia sudah menahan diri dan mengikhlaskan semuanya.
Namun dalam hati masih berharap bisa akrab dengan Mama selayaknya keluarga satu-satunya, tapi sepertinya Mama hanya ingin memanfaatkannya saja. Jadi lebih baik putus hubungan sebelum hubungan ini menjadi benci.
Pesan masuk lagi, panggilan yang menyuruhnya segera ke UGD. Pada akhirnya dia tidak jadi beristirahat, ia segera berlari dengan sisa tenaganya.
Mama masih terus menghubunginya sejak itu, kali ini tidak lagi menyuruh Qafiya putus kuliah, awalnya hanya minta beberapa ratus ribu, katanya sudah dua hari tidak makan.
Qafiya masih memberikan, dalam hati ia kasihan dan hitung-hitungan sedekah pada anak yatim yakni adik-adik tirinya.
"Mama mau nganterin makanan, apartemenmu di mana?" tanya Mama di chat.
"Aku nginep di rumah sakit, Ma. Pulang ke rumah paling dua hari sekali buat ambil baju ganti. Jadi gak usah kirim makanan."
"Oh kamu jarang di rumah, yaudah kasih alamatnya aja. Nanti biar Mama mampir sambil beres-beres apartemenmu, pasti kamu capek dan gak sempet beres-beres."
Qafiya pikir Mama ingin menjalin hubungan baik dengannya, jadi dia memberikan alamatnya pada Mama. Juga kode akses masuk apartemennya.
Namun, dua hari kemudian saat dia pulang ternyata Mama sudah tinggal di sana bersama kedua adiknya. Satu TK dan satunya masih balita berusia 4 tahun.
"Ma, apa-apaan ini?" tanya Qafiya.
Padahal dia pikir Mama sungguh membereskan apartemennya, tapi malah sebaliknya. Apartemen itu sangat berantakan dengan banyaknya mainan serta kardus-kardus bekas mereka pindahan.
"Mama sudah gak bisa bayar kontrakan, Mama gak ada tempat tinggal lagi, jadi Mama putuskan tinggal sama kamu. Lagian kamu kan jarang di rumah. Jadi anggap aja kami gak ada."
Kepala Qafiya sakit, adik laki-laki berusia 6 tahun kini tengah menonton TV sembari membuang biji kuaci sembarangan. Lalu adik perempuan yang berusia 4 tahun tengah mencoret-coret tembok.
"Aku pikir Mama gunain hasil uang jual rumah Papa buat beli rumah baru bareng suami Mama. Kalau Mama masih ngontrak, terus uang hasil jual rumah Papa ke mana?"
"Buat bisnis ayah tirimu, tapi malah ditipu temannya. Jadi ludes semua."
Sekali lagi Qafiya memijit pelipisnya, memang lebih enak hidup sendiri. Memiliki keluarga malah membuatnya pusing.
"Eh, itu jangan buang biji kuaci di sofa! Itu sofa baru!" Pandangan Qafiya melotot, ia menghampiri adiknya yang menoleh.
"Mama! Wanita itu jahat bentak-bentak Eza."
"Fiya, Eza kan masih kecil. Biarin ajalah, nanti Mama bersihin."
"Bersihkan juga tembok yang dicoret-coret itu!" Qafiya menunjuk adik perempuannya.
"Iya, nanti Mama bereskan semua. Kamu pulang cuma mau ambil baju kan? Cepat ambil sana."
"Gak, aku libur dua hari. Jadi mau istirahat di rumah."
"Kalau gitu tolong beli bahan-bahan makanan, kulkasmu udah kosong. Nanti Mama masakin buat kamu."
"Ma, kalian gak boleh terus di sini. Aku beneran gak bisa biayain kalian."
"Iya iya, nanti kalau Mama udah dapat kerja Mama bakal pindah."
Qafiya mengembuskan napas berat, ia keluar lagi dan belanja. Kali ini cukup menguras kantongnya. Biasanya hanya membiayai diri sendiri kini harus membiayai 4 orang termasuk dirinya.
Saat dia kembali, keadaan masih sama berantakan. Dia mencari keberadaan Mama dan anak-anaknya. Ternyata mereka berada di kamar Qafiya dan membuka laci-lacinya.
"Ma, Eza suka tinggal di sini. Ada AC trus banyak jajan."
"Iya sayang, kita akan tinggal di sini terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hadiah Pedang Pora (TAMAT)
Teen FictionQafiya dan Qaishar terikat karena sebuah kesalahpahaman, ketika mereka berpisah Qafiya pikir hubungan mereka sudah berakhir. Namun, 6 tahun kemudian mereka dipertemukan kembali di sebuah pengungsian gunung Semeru. Ikatan yang Qafiya pikir sudah tid...