𝐏𝐫𝐢𝐧𝐜𝐞𝐬𝐬 𝐌𝐚𝐢𝐬𝐚𝐫𝐚𝐡 | TERBIT

BAB 2

Di ruang kamar tidur Istana Carran, terlihat ada seorang gadis sedang tidur lena di atas ranjang tetapi gadis itu seperti dalam keadaan tidak baik-baik saja kerana dahinya berkerut-kerut dan nafas berubah pantas. Erangan hampir tak terdengar, keluar mengisi ruang kamar. Selimut tebal digenggam kuat tanpa sedar.

Sebelum gadis itu terbangun dari tidurnya secara mengejut. Mulut terbuka luas menyedut nafas yang terasa hilang. Dada disentuh. Muka berkerut pucat kedinginan. Gadis itu meliarkan biji mata ke sekeliling kamar.

Kening gadis itu hampir bercantum bila sedar di mana dia berada.

Rupanya... mimpi?

Wajah-wajah yang tak pernah hadir dalam mimpinya, datang? Atas sebab apa?

Wajah Permaisuri Ummu dan ahli keluarganya yang lain. Apa lagi, wajah Tengku Bunga. Bagaimana wajah perempuan itu boleh ada di dalam mimpi sebagai kawan baiknya?

Padahal di realiti, mereka musuh!

Gadis itu mengerang kecil bila teringat ada satu wajah jejaka lagi tapi yang ini samar-samar. Tak berapa jelas. Kabur sampai gadis itu tak tahu teka siapakah jejaka misteri yang ada di dalam mimpinya.

"Tuan Puteri?"

"Tuan Puteri sudah bangun ke?"

Suara yang menjengah di pintu kamar, menyentak lamunan si puteri itu. Gadis itu hela nafas panjang sebelum memberi izin masuk. Waktu dah pagi rupanya. Entah pukul berapa sekarang. Gadis itu mengintip jendela. Cuaca terang.

Gadis itu jatuhkan kedua kaki ke lantai. Tunduk lalu raup rambutnya ke atas bersama kepala diangkat. Kelibat gadis itu terus terpampang bila cermin tak jauh darinya menampilkan dirinya. Gadis itu merenung imejnya dalam.

Dalam mimpi itu, rambutnya bukan warna ini tapi warna perang.

Dalam mimpi itu, warna matanya bukan ini tapi kristal kelabu.

Sungguh mimpi yang aneh. Tak pernah-pernah gadis itu memimpikan hal tersebut. Sampai merubah penampilan dan sikap.

Padahal yang sebenarnya, rambut gadis itu berwarna hitam legam. Warna mata hijau zamrud. Penampilan lebih berkelas dan menawan. Sikap sangat jauh beza dari dalam mimpi itu. Kehidupannya pula tak seindah itu.

Hidupnya di Istana Carran ini bagai gunung salji. Bukan dingin tapi dinginnya setiap ahli keluarganya. Yang mementingkan tata tertib dalam istana. Adat, peraturan dan sebagainya. Perkara yang sangat konyol untuk gadis itu mengikutinya.

"Puteri Maisarah mahu makan atau mandi terlebih dahulu?" tanya Suri, pembantu peribadi dalam istana untuk Maisarah.

Maisarah menoleh. Wajah Suri dipandang kosong. Suri pun turut masuk dalam mimpinya. Hah... Maisarah hembus nafas dalam sebelum bangun. Kardigan tidur dilepas begitu saja sambil melangkah ke kamar mandi. Memaparkan tubuh tinggi lampai yang berkulit putih susu.

"Aku nak mandi. Letak saja makanan di atas meja. Nanti aku makan." Dingin Maisarah.

"Tapi, Puteri..."

"Jangan buat aku marah, Suri." Pintas Maisarah cepat sembari berpaling ke sisi melihat Suri tajam. Dia benci bila arahannya dibantah. Maisarah pantang akan itu.

"Bu... bukan itu maksud saya, Tuan Puteri. Mandi Tuan Puteri kan pelayan akan urus?"

"Tak nak. Aku boleh mandi sendiri. Jangan ganggu aku." Balas Maisarah sekali lagi dingin. Menjeling Suri tajam.

Suri telan liur pahit. Wajah menakutkan Maisarah membuat mulut Suri langsung terkunci. Kemarahan Maisarah mahupun tatapan dinginnya selalu buat Suri terkucil. Meskipun dia ada izin dari Permaisuri Ummu untuk membantah, dominan Maisarah tak dapat dilawan.