1. Seperti Dipaksa, Tapi Nyata

1.5K 171 59
                                    

Ternyata, meski sudah memutuskan untuk pergi jauh sampai ke Australia, tak membuatku bisa cepat rela akan Nadira.

Semua hal yang menjadi pokok cerita di dalam setiap keseharianku masih selalu tentang Nadira. Wanita cerdas berhati lembut yang sangat berhasil membuatku jadi jatuh cinta dengan begitu istimewa.

Perasaan berdebar dan bergemuruh paling menyenangkan yang Adrian punya, masih terus dipenuhi nama Nadira.

Belum ada yang berubah meski aku sangat ingin untuk lupa.

"Cie. Ada yang lagi tegar banget nih."

Aku mendengus dengan sangat jelas walau panggilan telepon masih terus tersambung sejak tadi.

"Kalau cuma mau kasih penghinaan, mending, langsung matiin aja teleponnya."

Suara tawa langsung terdengar.

Bahagia sekali.

Seakan si penelepon yang sedang menghubungiku saat ini memang benar-benar ingin melontarkan semua bentuk ledekan keji melalui suaranya.

"Duh, beneran bahagia banget aku loh, kalau lihat mukamu lagi melas kaya gitu. Hiburan banget buat aku setelah banyak pasien."

Bukan lagi dengusan. Sebab saat ini aku sudah langsung menunjukan delikan sengit penuh kekesalan. Tanda obrolan ingin mulai berlanjut jadi perdebatan.

Cukup sensi karena panggilan kali ini bukan hanya suara saja, tapi juga tampilan video yang membuatku bisa jelas sekali melihat penampakan seringai gadis usil dari Indonesia.

"Kamu tuh, sekarang udah jadi Dokter. Tapi kenapa masih tetep ada gila-gilanya?"

Aku tak perlu repot menjaga kata. Karena seorang perempuan yang sejak tadi telah mengganggu waktu istirahatku juga tak pernah sungkan dengan semua tantangan rusuhnya.

Ribut terus.

"Eh, nggak usah pakai acara bawa-bawa profesi kaya gitu, ya. Kamu mau jadi pasienku juga?"

Dahiku jadi mengernyit dengan senyum pertanda balasan yang sudah langsung tiba.

Mulai menemukan bahan obrolan untuk memantik huru-hara.

"Kamu?"

"Iya dong."

"Masih berani panggil kamu sama aku?"

"Kenapa lagi si? Mau protes soal apa sama aku?"

"Kamu aja terus. Manggilnya yang bener dong. Yang sopan."

Tak ada ekspresi takut dan patuh yang kuterima.

Melainkan hawa permusuhan yang lagi-lagi menantang ingin segera bersuara.

"Loh? Itu udah sopan banget kali. Kamu. Bukan Anda."

"Ya tetep aja dong, kalau sama aku, harusnya, bukan kamu."

"Terus?"

"Mas dong. Kan, aku lebih tua dari kamu. 2 tahun."

Cinta Dua NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang