39. Sekarang Giliran Dria, Ya?

260 45 69
                                    

🍂 Dria

Bulir keringat yang menetes di bagian dahiku tak kupedulikan, karena keadaan Lily yang saat ini harus kupastikan dalam keadaan aman dan nyaman.

Mengabaikan perutku yang sudah mulai keroncongan, aku berlari cepat mencari air mineral juga tisu supaya tangis pilu Lily bisa lekas ditenangkan.

Tentu saja, setelah aku memberikan kabar terkini pada Kak Eva, juga Mama.

Karena siapa sangka, satu hari ini aku benar-benar mengalami segala keadaan genting yang sangat tak terduga.

Di satu Rumah Sakit yang sama, jiwa dan ragaku seperti harus dibagi untuk bisa menjaga semua orang penting yang sangat kucinta.

Dan bersyukur sekali karena keadaan Mama sudah sadar sehingga Kak Eva juga mulai lebih tenang.

Tertinggal Lily yang kini masih membuatku kalang kabut mencari jalan keluar untuk bisa membantu segala permasalahan yang sedang menimpanya.

Tak apa.

Mari tetap kuat.

Karena ketika siap mencintai, memang harus siap dengan segala konsekuensi. Termasuk harus bersedia menerima semua bentuk suka duka yang pasti akan menyertai.

Memperlambat langkah kakiku setelah berlari, kondisi Lily yang masih terus menangis benar-benar membuat hatiku ikut teriris merasakan duka yang sakit sekali.

Ikut mendudukkan diri, aku berusaha tenang supaya keadaan Lily tak semakin terluka lagi.

Tapi nyatanya, isak tangis Lily benar-benar terdengar sangat memilukan. Bentuk ungkapan duka yang tak kusangka akan kudengar seperti rintihan penuh kepedihan.

Hidup Lily yang kukira selalu baik-baik saja, ternyata, menyimpan banyak sekali duka dari orang-orang terkasihnya.

Suara tangis Lily saat ini memang tak terdengar keras.

Tapi aku jelas tahu bahwa rasa sakit yang Lily pendam pasti terasa sangat pekat.

"Aku pernah dimarahi dengan sangat hebat, karena aku berani marah."

Aku mengepalkan tanganku saat Lily mulai bercerita dengan sedu sedan.

"Aku pernah didiamkan, karena berani mengutarakan kekecewaan."

Mendengar suara Lily yang masih terus menangis sesenggukan, memancingku untuk menengadahkan kepala karena menahan tangisan.

Aku tak bisa jadi lemah.

Karena Lily sedang butuh seseorang yang harus menguatkan.

"Dari dulu, aku berulang kali dapat kalimat pedas dan peringatan keras dari Papa, karena katanya, ucapanku sering serampangan. Aku nggak bisa menempatkan diri dengan benar. Dan nggak tahu terimakasih dengan semua kenyamanan yang aku dapatkan."

Ya Allah.

Aku memang selalu berkata bisa jadi pendengar yang baik untuk setiap orang yang bercerita.

Tapi kenapa kesedihan yang kembali kudengar dari gadis yang kucintai?

Setelah jatuh cinta, aku sungguhan ingin Lily selalu bahagia. Jadi aku mohon, setelah ini, jangan lagi duka yang Lily terima. Ya?

"Lalu, setelah semua itu, akhirnya aku sadar, bahwa ternyata, setelah Mama nggak ada, aku memang nggak pernah diberikan kesempatan untuk membela diriku sendiri."

Dadaku bergejolak.

Benar-benar ikut merasakan nyeri setelah tahu banyaknya pedih yang Lily jalani sendirian.

"Entah seberapa banyak aku bicara, atau berusaha ingin mengutarakan apa maksud hatiku, selalu aku yang dianggap salah. Entah aku benar atau keliru, pendapatku tak pernah mau didengar. Semua dituding jadi salahku. Meski aku nggak mau, tapi aku selalu dituntut untuk diam, menurut, mengerti, dan menerima semuanya."

Cinta Dua NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang