21. Sadar Diri

352 100 105
                                    

🌼 Lily

Pulang dari Australia, bukannya lekas kembali ke Jakarta, aku malah bertandang ke tempat di mana sangat bisa menambah kucuran luka.

Mengorbankan hati, supaya aku bisa lekas sadar diri.

Dengan bertemu dan bertatap muka bersama wanita teramat cantik yang telah sangat berhasil membuatku jadi patah hati karena mendapatkan penolakan beruntun dari Kak Adrian.

Ya. Aku datang berkunjung ke rumah Kak Alan dan Mba Dira yang ada di Surakarta.

Rumah megah dengan desain elegan yang membuatku iri luar biasa. Bukan perkara besar dan lengkapnya fasilitas yang ada, tapi karena cinta dan kasih yang sangat terasa. Lingkup kehidupan teramat indah dan begitu hangat yang sudah lama sekali hilang dariku setelah Mama tiada. Peluk erat serta dukungan yang sepertinya akan sulit sekali bisa kudapatkan karena sibuknya Papa bekerja.

Ah, bertemu langsung dengan Mba Dira sungguhan membuatku sadar diri untuk lekas menyerah.

Pasrah bahwa aku memang tak bisa setara apalagi menggantikan cinta pertama Kak Adrian.

Dan tak lagi nekat mau bersikeras memaksa perasaan, di saat Kak Adrian juga pasti belum bisa sepenuhnya merelakan.

Cinta pertama Kak Adrian sungguhan jadi begitu istimewa, karena wanitanya adalah Mba Dira.

Tapi kenapa cinta pertamaku jadi terasa sangat menyakitkan, karena aku menjatuhkannya pada Kak Adrian?

"Aku pulang ya, Kak."

"Iya, Ly. Hati-hati, ya."

"Iya, Kak Alan."

Aku menunduk lesu. Lalu memandang sayu pada banyaknya oleh-oleh yang ada di kedua tanganku.

Karena rasanya, cindera mata yang kubawa dari Australia tak seberapa. Tapi Kak Alan dan Mba Dira malah menggantinya dengan bawaan yang banyak sekali jumlahnya.

Satu dari sekian banyak kebaikan yang membuat hatiku makin bersyukur bisa mengenal mereka berdua.

Juga kenyataan pelik yang makin menyadarkan aku bahwa diriku sungguhan tak bisa membenci cinta pertama Kak Adrian. Karena tulusnya Mba Dira memang sangat menenangkan.

Andai aku juga terlahir jadi wanita selembut Mba Dira, jatuh cinta pertamaku pasti akan mulus sekali jalannya.

Membayangkan betapa bahagianya aku ketika Kak Adrian bisa langsung jatuh hati padaku. Mau memperjuangkan kebahagiaanku. Dan bukan aku yang justru harus jungkir balik menunjukan diri supaya Kak Adrian mau melihatku.

Sudahlah.

Mau diingat berapa kali, sikap Kak Adrian padaku memang tak pernah lembut meski bertemu di dalam mimpi.

Karena entah aku sedang tidur dan merasa beruntung bisa memimpikannya, tapi saat menjalani langsung di dunia nyata, segala kenangan melekat yang kuingat tentang Kak Adrian setelah memilih ingin melupakannya malah jadi semua kalimat pedasnya.

Miris sekali.

"Kenapa, Dek? Katanya, mau pulang. Tapi, kok, mukanya jadi kecut kaya gitu?"

"Emang kelihatan?" pertanyaanku terdengar amat pelan pada Kak Alan. Tapi Kak Alan malah terkekeh seolah suaraku ini pancingan hiburan.

"Banget."

Aku sedikit cemberut.

Bukan bermaksud ingin merajuk.

Hanya saja, aku seperti sedang merutuki diri sendiri karena selalu tak bisa menyembunyikan perasaan bergejolak yang kupunya. Pasti selalu bisa langsung disadari oleh semua orang yang peka hatinya.

Cinta Dua NegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang