🌼 Lily
Biasanya, setiap kali datang ke Singapura, aku pasti akan merasa sangat bahagia.
Akan punya segudang jadwal kegiatan yang membuatku sibuk secara berurutan.
Mengunjungi negara tertib aturan dengan penataan tata letak kota yang sangat strategis.
Gedung-gedung tinggi dengan akses jalan yang begitu bersih.
Transportasi umum yang ramah dengan pengadaan fasilitas begitu lengkap.
Mendatangi kantor pusat dengan tambahan pendapatan yang begitu menjanjikan. Meski aku memang harus siap menyelesaikan berbagai macam tantangan pekerjaan yang memusingkan.
Juga tak lupa, surga kuliner dan banyaknya deretan pusat perbelanjaan yang pasti akan sangat memuaskan jiwa berliburku sebagai seorang wanita.
Biasanya selalu seperti itu rutinitasku setiap kali bertandang ke Singapura. Siap bekerja. Juga siap mengeluarkan timbunan uang untuk bersenang-senang dan menghibur diri karena tahu akan mendapatkan bonus yang lebih banyak lagi jumlahnya.
Tapi kini tak bisa seperti itu rasanya.
Tambahan pekerjaan memang ada. Bonus pendapatan begitu tinggi jelas sudah kuterima. Tapi perasaan suka cita, tak ada.
Hatiku rasanya kosong.
Banyak kebahagiaan dan tawaran hiburan di depan mata. Tapi segala pelik yang kupunya, malah hanya berkutat tentang duka.
Luka yang kurasakan masih menganga.
Sampai rasanya bekerja hanya kugunakan sebagai alibi supaya pikiranku tak lagi sibuk melalang buana, dan agar tangisanku bisa kutahan sekuat tenaga.
Kesibukan bekerja di kantor pusat hanya kujadikan sebagai salah satu alasan. Karena kedatanganku ke Singapura malah lebih cocok disebut sebagai pelarian.
Acara menghindar, karena aku sedang berusaha merelakan dengan benar.
Aku menghela napas dengan sangat panjang. Hampir saja menangis saat rasa nyeri di dalam hatiku kembali datang.
Tapi langsung kutahan, saat ponsel pintarku berdering tanda ada sebuah panggilan.
Dan masih sama peneleponnya. Dari Cia yang tak pernah lelah menanyai kabarku dengan semua bentuk suara ributnya.
Ingin kesal.
Tapi rasa sayangku untuk Cia jelas jauh lebih besar.
Jadi panggilan video dari Cia sudah kuterima, meski senyum cerah belum bisa kuberikan untuknya.
"Gimana Singapura? Udah puas nonton patung singa?"
Lihat saja. Baru awal bicara, tapi pertanyaan Cia sudah hebat sekali untuk memancing huru-hara.
"Ya. Lumayan. Nggak sumpek mantengin komputer terus, nih."
Dan kalimat pongah yang langsung kupilih supaya Cia bisa semakin panas karena sedang sibuk sendirian di Jakarta.
"Gaya banget. Sok bebas. Padahal, di sana, aku jelas tahu, kalau kerjaanmu pasti makin banyak. Tender super semua."
"Jangan ingatkan soal tugas. Soalnya, aku mau jadi turis dulu, nih."
"Pamer!"
Aku tersenyum tipis.
Sudah langsung bisa memaklumi ketika melihat ekspresi wajah Cia yang kini nampak sangat emosi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Dua Negara
ChickLit* Disarankan untuk membaca "Rasa Punya Nadira" dan "Nadira Beserta Bahagia Miliknya" terlebih dahulu supaya bisa lebih runtut ceritanya 😊 ***** Tipe istri idaman seorang Adrian adalah seorang gadis yang begitu taat pada agamanya, serta sangat bisa...