بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perempuan memang sudah di-setting untuk gemar berbelanja, itulah mengapa mereka kerapkali lapar mata."
—Rintik Sendu—
by IdrianiiinHAMZAH terduduk seraya memijat kakinya yang pegal bukan main. Entah sudah berapa jam mereka berkeliling mall, yang jelas efeknya sangat berdampak tidak baik.
Dia heran, dengan Hanum yang seolah tidak mengenal kata lelah, padahal dirinya sudah sangat ingin segera merebahkan tubuh. Perempuan itu justru masih terlihat lincah memilah dan memilih sepatu yang hendak dijadikan sebagai hantaran.
Hamzah melirik arlojinya. Sebentar lagi waktu magrib akan tiba, padahal tadi dia berangkat selepas zuhur. Bisa dibayangkan bukan betapa lelahnya lelaki itu?
"Bagus tidak?" tanya Hanum seraya berlenggak-lenggok untuk memamerkan sepatu berhak 10 centi yang tengah dipakainya.
Hamzah hanya berdehem dengan disertai acungan jempol. Dia sudah tak memiliki tenaga untuk sekadar menjawab 'ya'.
"Menurut A Hamzah lebih baik beli yang cream atau hitam?" tanyanya lagi.
Ingin rasanya dia menjawab, 'Lebih baik pulang!' tapi pernyataan itu hanya sampai di kerongkongan.
"Cream," jawab Hamzah asal.
"Ok, kalau gitu aku ambil yang hitam."
Hamzah membulatkan mata tak percaya. "Kalau sudah tahu pilihannya, kenapa harus tanya pada saya?"
"Aku hanya ingin tahu selera kamu," jawabnya enteng.
Rasa hati Hamzah ingin berteriak dan memaki. Apa semua perempuan seperti itu?
Kerapkali menanyakan sesuatu yang jelas-jelas sudah mereka ketahui. Mengapa kaum hawa ini gemar sekali membuat para lelaki darah tinggi.
"Tasnya bagus yang mana?" selorohnya lagi.
Kebetulan toko yang mereka sambangi menjual berbagai jenis tas dan juga sepatu dengan merk terkenal. Harganya pun cukup menguras kantong.
Risiko menikahi perempuan yang memiliki selera fashion kelas atas memang seperti ini. Itulah, mengapa Hamzah sempat menolak perjodohan. Bukan bermaksud untuk perhitungan, tapi harga satu tas saja bisa untuk biaya makan sebulan.
"Terserah kamu, selera saya tidaklah bagus."
Hanum berdecak tak suka. "Aku serius A Hamzah, bagus yang mana?"
Hamzah menghela napas singkat. "Kalau saya jawab tidak keduanya. Apa kamu akan mengikuti perkataan saya? Nggak, kan."
"A Hamzah kok sensi sih? Ngegas pula. Salah aku di mana?" omelnya.
Hamzah bangkit berdiri. "Beli dua-duanya, setelah itu kita pulang."
Mata Hanum berbinar seketika, dia langsung tersenyum dan bergelayut manja di lengan Hamzah. "Baiknya calon suami aku."
Hamzah menjauhkan tangan Hanum. "Tolong jaga sikap. Ini tempat umum, dan kita bukanlah mahram."
"Oke," sahutnya lalu melesat menuju meja kasir.
Hamzah menenteng banyak belanjaan. Dari mulai pakaian, tas, sepatu, body care, skin care, parfum, peralatan salat, dan masih banyak lagi. Dia sampai tidak tahu apa saja yang sudah Hanum beli. Yang jelas isi tabungannya cukup terkuras.
Lihatlah kelakuan menantu idaman sang mama? Bisa-bisa selepas akad nanti, dia harus puasa daud karena uangnya benar-benar habis tak tersisa.
"Barang-barang untuk hantaran langsung dikirim ke rumah A Hamzah, kan?" tanya Hanum saat mereka sampai di parkiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
SpiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...