بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terkadang, keadaan bisa membuat seseorang tanpa sadar saling menyakiti satu sama lain."
—Rintik Sendu—
by IdrianiiinHAMNA tidak pernah mengira bahwa ternyata tinggal seatap dengan mertua semengerikan itu adanya. Selama ini dia hanya sebatas mendengar dari cerita orang-orang, ataupun melihat dari beberapa postingan yang tersebar luas di jejaring maya.
Sebagian besar wanita yang kerapkali mengeluhkan, karena katanya perempuan lebih susah diterima oleh pihak keluarga laki-laki, ternyata itu benar-benar fakta dan sekarang dia mengalaminya.
Berbanding terbalik dengan keluarganya yang menyambut Hamzah dengan tangan terbuka lebar. Kedua orang tuanya pun memperlakukan Hamzah selayaknya anak mereka sendiri. Kadang kala dia diliputi rasa iri, kenapa Hamzah tidak mendapat perlakuan serupa sebagaimana dirinya?
Atau mungkin akan lebih baik, kalau dia bisa diperlakukan dengan layak oleh ibu mertuanya. Tak usah muluk-muluk untuk dianggap sebagai anak, sekadar dianggap ada dan sedikit beramah-tamah pun tak apa. Karena jujur, dia pun lelah kalau setiap hari harus terlibat perdebatan sengit.
Di mata Hamna mertua layaknya seorang rival yang harus senantiasa dia lawan, lengah sedikit dia yang akan tumbang dan menjadi korban.
"Na buatkan minuman untuk Nak Hamzah, bukan malah leha-leha kayak gitu," tegur Irna yang merupakan ibunya.
Dengan langkah malas, Hamna pun menuruti titahnya. "Mau minum apa, A?"
"Terserah kamu, yang sekiranya nggak merepotkan saja," jawab Hamzah yang sudah memahami gelagat kemalasan di wajah sang istri.
"Nggak boleh berwajah masam seperti itu di hadapan suami, Na. Dosa," tegur Irna.
Hamna hanya mengangguk lalu melengos ke dapur menyiapkan air keran untuk minum suaminya. Karena hanya minuman itu yang tak membuatnya kerepotan.
"Silakan diminum air kerannya," tutur Hamna setelah meletakkan nampan di atas meja.
"Hamna nggak baik kayak gitu!"
"Bercanda doang itu, lagian mana mungkin Hamna kasih A Hamzah air keran. Itu air putih dari galon yang ada manis-manisnya, Bu," sahut Hamna.
Dia tidak mungkin sesadis itu untuk menghidangkan air keran. Dia hanya bergurau, tapi ibunya malah menganggap hal tersebut serius.
"Haleezanya nggak dibawa Nak Hamzah?"
"Nggak, Bu, ditinggal di rumah sama Mama," sahut Hamzah.
"Hamna nggak macem-macem, kan?"
Hamzah tak langsung menjawab, dia menoleh singkat ke arah Hamna yang tengah memberinya pelototan sadis. "Jangankan macam-macam, Bu, satu macam saja sudah buat saya memar-memar."
"Apaan sih nggak jelas banget, pake ngadu-ngadu segala sama Ibu," sela Hamna tak terima.
"Ibu tanya buat dapat jawaban, bukan Nak Hamzah yang sengaja ngaduin kelakuan kamu sama Ibu. Ketus banget kamu sama suami, Na. Jangan kayak gitu atuh," tegurnya.
"Berasa ternistakan, di rumah sendiri padahal!"
Hamzah terkekeh pelan. "Nggak, Bu, Hamna baik sama saya, baik banget malah. Nggak ada duanya, Ibu nggak usah khawatir ya."
Hamna memutar bola mata malas. "Bapak lagi pencitraan di depan saya? Maaf nggak akan mempan!"
Irna menggeleng kecil. "Yang benar atuh, Na kalau panggil suami itu, masa Nak Hamzah kamu panggil 'bapak', jangan ngaco kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
SpiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...