بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Tak usah banyak menuntut, cukup contohkan untuk membuat seseorang menjadi sosok yang penurut."
—Rintik Sendu—
by IdrianiiinTATA BOGA menjadi jurusan yang Hamna ambil untuk pendidikan S1-nya. Dia memilih secara acak, tidak benar-benar memilih berdasarkan minat dan bakat. Kala ditanya perihal alasannya oleh Hamzah pun jawaban Hamna sangatlah nyeleneh.
"Alasannya sederhana, supaya menjadi menantu idaman ibumu."
"Saya bertanya serius, jangan bergurau terus."
"Bapak ini cerewetnya ngalahin perempuan, suka kepo urusan orang lain juga. Ya sudah sih, nggak usah banyak tanya yang penting saya kuliah dan lulus jadi sarjana."
"Saya bertanya seperti ini karena saya khawatir kamu salah pilih dan malah menyesal di kemudian hari. Kamu harus pikirkan matang-matang dahulu, saya nggak mau sampai kamu tertekan saat menyadari salah pilih jurusan. Saya bicara seperti ini, karena saya pernah mengalami, dan saya tidak ingin kamu merasakan hal yang sama."
"Nggak usah banyak khawatir, hidup itu harus dinikmatin. Susah emang kalau nikah sama yang lebih tua, mikirnya terlalu jauh ke depan."
Lamunan Hamna buyar seketika kala lengkingan suara Haleeza menyapa rungunya.
"Buna!"
"Iya, kenapa?"
"Hari ini jadi, kan anterin, Za sekolah?" tanyanya penuh semangat.
Hamna tersenyum lebar. "Jadi dong, Buna nggak mungkin ingkar janji sama Za."
Haleeza tertawa lalu naik ke atas pangkuan Hamna, mencium pipi Hamna secara bergantian lalu berkata, "Makasih ya, Buna sudah mewujudkan mimpi, Za."
"Mimpi?"
Haleeza mengangguk semangat. "Berangkat sekolah dianter Buna, nggak cuma sama Papa. Kayak temen-temen, Za yang lain."
Hamna menangkup gemas wajah Haleeza lalu memeluknya erat. "Mulai sekarang dan seterusnya Buna yang akan anterin Za sekolah."
"Janji?" Bocah kecil itu mengacungkan jari kelingkingnya.
Hamna menyambut baik, dan menautkan jari mereka. "Janji!"
"Sudah siap-siapnya, Na?" tanya Hamzah di balik pintu kamar.
Hamna menurunkan Haleeza lalu menuntunnya untuk menghampiri Hamzah yang berada di ambang pintu. "Sudah."
"Ya sudah, yuk sarapan dulu."
Hamna menahan tangan Hamzah dan menggeleng kuat. "Kalau sarapan di rumah, yang ada kita telat karena pastinya saya akan terlibat perdebatan lagi dengan Ibu Anda. Langsung berangkat saja ya?"
Hamzah mengangguk setuju, dia pun tak ingin ada keributan di pagi hari. Sudah cukup semalam saja, jangan ditambah lagi.
"Za nggak papa, kan kalau kita sarapan di luar? Makan bubur?" tanya Hamna.
Haleeza langsung mengangguk patuh.
Saat melewati meja makan, suara sang ayah lebih dulu menyapa rungu. "Nggak sarapan dulu?"
"Sarapan di luar, Yah, lagi pengin cari suasana baru."
"Bukan cari suasana baru, tapi pemborosan itu namanya!" sambar Anggi.
"Nggak boros, Ma, toh nggak setiap hari juga," sangkal Hamzah.
"Kamu semenjak nikah jadi suka membantah Mama, Ham!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
SpiritualitéSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...