بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Terkadang jika kita bahagia akan sesuatu, euforia dalam menyambutnya terkesan berlebihan."
-Rintik Sendu-
by Idrianiiin
HAMNA menggeliat saat telinganya mendapati kebisingan. Dia mengerjap perlahan, dan mendapati sepasang tangan melingkar apik di pinggangnya.
"Dalam kondisi nggak sadar juga jiwa-jiwa modusnya masih ada," gumam Hamna berusaha untuk menjauhkan tangan Hamzah.
Hamzah melenguh pelan.
Lain hal dengan Hamna yang memutar bola mata malas. Dia dekatkan mulutnya ke arah telinga Hamzah lalu berkata, "Mau sampai kapan modusin saya, hm?!"
Hamzah terlonjak, nyawanya belum terkumpul sempurna. Tapi, pada saat membuka mata langsung dihadiahi tatapan tajam Hamna.
"Apa?!"
"Bapak yang apa-apaan. Tuh, tangan asal nemplok-nemplok ke saya. Berat tahu!"
Hamzah menarik tangannya. "Nggak sengaja itu."
"Alah bilang saja modus!"
"Jam berapa sih, Na? Ada yang mengganggu tidur kamu?" tanyanya.
"Jam tiga dini hari ini, tapi berisiknya minta ampun. Di luar lagi ada apaan sih?"
Hamzah mendudukkan diri, dia melihat ke arah jam dinding lalu kembali beralih menatap istrinya. "Lha iya kok rame sih?"
"Ya mana saya tahu, lha."
"Sekalian bangun, saya mau salat tahajud dulu kalau gitu. Ambil wudu, gih, Na."
"Bapak yang mau salat, kok jadi nyuruh saya ambil wudu. Nggak salah?"
"Emangnya kamu nggak mau salat malam berjamaah sama saya?"
"Kalau saya jawab nggak mau gimana?"
"Ya nggak papa, itu hak kamu. Yang penting saya sudah menunaikan tugas dan kewajiban saya sebagai suami untuk mengajak istri saya dalam kebaikan. Selagi ibadah itu termasuk dalam perkara sunnah, saya nggak akan memaksa kamu untuk melakukannya."
Hamna turun dari ranjang lebih dulu. "Kirain Bapak akan maksa saya, tahunya nggak. Ya sudah ayo."
"Ke mana?"
Terdengar dengusan kasar. "Tadi katanya mau salat tahajud berjamaah. Gimana sih!"
"Kamu mau?"
Hamna merotasi matanya. "Buruan sebelum saya berubah pikiran," ucapnya lalu melesat ke kamar mandi begitu saja.
Hamzah menahan senyumnya, dia pun bergegas menyiapkan perlengkapan salat untuk mereka. Hati lelaki itu mendadak bahagia dan berbunga-bunga.
Selama ini memang dia tidak pernah memaksa Hamna untuk menunaikan apa yang sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Sekadar mengajak dan mengingatkan, alhamdulilah sekarang Hamna bersedia tanpa melewati banyak drama.
Biasanya sang istri selalu berdalih ngantuk, dan kembali tidur pulas menyelami alam mimpi. Namun, berbeda untuk kali. Ada sebuah kemajuan, yang sangat patut dia syukuri.
Mereka menunaikan empat rakaat salat tahajud, dua rakaat salat hajat, dan ditutup dengan tiga rakaat salat witir. Selesai salam, Hamna langsung menyalami Hamzah, dan tanpa diminta lelaki itu melantunkan doa-doa terbaik.
"Terima kasih ya, Na," katanya.
"Untuk?"
"Terima kasih karena kamu sudah bersedia untuk menyempurnakan separuh agama saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
EspiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...