بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Saya ingin menjadi rintik yang bisa menghapus segala sendu yang pernah singgah mewarnai hatimu."
-Rintik Sendu-
by IdrianiiinHAMNA termenung kala melihat potret dirinya di dalam cermin. Sebuah gamis rumahan menempel apik, menunjukkan baby bump yang semakin terlihat jelas. Sedikit tidak percaya diri, terlebih karena tubuhnya yang pendek terlihat bak kue bantat. Tidak mengembang sempurna, dan hanya membesar di bagian perut saja.
"Al mar'ah kal mir'ah."
Perempuan itu pun menoleh seketika, saat mendapati suara sang suami yang baru saja memasuki kamar.
"Apa?"
Hamzah terkekeh pelan. "Pepatah Arab pernah mengatakan, 'Al mar'ah kal mir'ah' yang memiliki arti perempuan itu ibarat sebuah cermin. Semula saya kurang begitu memperhatikan, tapi semenjak menikah dengan kamu saya setuju dengan pepatah tersebut."
"Kamu senang bercermin, di mana pun dan kapan pun. Pokoknya kalau mata kamu mendapati kaca, pasti langsung tertuju pada benda yang memiliki kegunaan untuk berkaca itu."
"Ya terus kenapa?"
Hamzah menggeleng lalu berjalan lebih mendekat ke arah istrinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri, memegang kedua pundak istrinya lalu berkata, "Bahasa Arabnya laki-laki adalah rajulun, dan bahasa Arabnya kaki adalah rijlun, berasal dari bentukan kata yang sama. Maka dari itu laki-laki identik dengan jalan, keluar, pergi, yang memang menjadi pekerjaan kaki."
"Sedangkan perempuan dalam bahasa Arab ialah mar'atun, dan bahasa Arabnya cermin adalah mir'atun, artinya perempuan identik dengan cermin. Perempuan memang tempatnya bersolek, bergaya, atau mempercantik diri. Saya menyadari betul kodrat kamu sebagai istri, jadi saya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kodrat kewanitaan kamu. Mempercantik diri dengan tujuan untuk menyenangkan hati suami."
Hamna menoleh sekilas, lalu kembali tertuju ke arah cermin. Bayangan mereka tergambar jelas, bahkan lengkungan senyum di bibir Hamzah tak pernah sedikit pun luntur.
"Ustaz Adi Hidayat pernah berkata, saat cermin sudah pecah ia bisa direkatkan kembali, namun sulit memantulkan bayangan yang sempurna. Layaknya hati para wanita yang konon saat ia sudah pecah dan tersakiti, ia mudah untuk kembali memaafkan, tapi sulit untuk melupakan."
Hamna sedikit mengulas senyum, dia membawa tangan suaminya agar berada di atas perutnya yang kian membuncit, karena memang sudah memasuki usia lima bulan. "Perempuan juga seperti memori card, pengingat paling baik yang kapasitasnya tidak bisa diragukan lagi."
Hamzah tertawa kecil dan mengangguk setuju. "Kalau sekiranya di masa mendatang nanti saya mengukir luka, menyakiti hati kamu dengan sengaja. Tolong maafkan saya dan jangan mengungkitnya hingga menimbulkan banyak prahara."
Kening Hamna mengernyit heran. "Kenapa tiba-tiba ngomong kayak gitu?"
"Sesempurna apa pun saya berusaha untuk membahagiakan kamu, saya tidak bisa melupakan fakta kalau sewaktu-waktu saya bisa saja mengambil langkah keliru, yang mungkin akan menyakiti kamu."
"Saya juga belum bisa menjadi istri yang sempurna, bahkan untuk menjadi al mar'atus shalihah sebagaimana yang Aa pinta pun saya belum mampu."
Hamzah mengelus lembut perut sang istri. "Dengan kamu bersedia untuk mengandung buah hati saya saja sudah sangat alhamdulilah. Kamu sehat-sehat ya, dijaga baik-baik kehamilannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
SpiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...