بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dipandang hina oleh manusia itu biasa, asal jangan sampai benar-benar hina di mata Sang Pencipta."
—Rintik Sendu—
by IdrianiiinSEPERTI sudah menjadi kewajiban jika perempuan yang sudah bergelar sebagai istri harus piawai memasak. Seolah, jadi standar khusus yang tidak boleh luput dari pantauan, terlebih pantauan mertua yang katanya mengharapkan menantu 'idaman'.
"Kamu hanya saya suruh potong bawang, bukan saya suruh potong jari tangan sendiri. Malah nangis pula lagi!" omel Anggi kesal.
Hamna mengelap sudut matanya yang berair dengan ujung khimar. "Saya nangis bukan karena jari saya teriris, tapi karena bawang merah yang antagonis."
Anggi mendengus kasar. "Kamu memang nggak bisa apa-apa! Mau dikasih makan apa anak saya kalau berumah tangga sama kamu, hah?"
"Makan hati, Bu. Sama kayak saya, makan hati mulu semenjak jadi menantu Ibu," jawabnya asal.
Mata Anggi melotot seketika. "Nggak ada sopan santunnya kamu sama yang lebih tua. Nggak pernah makan bangku sekolah ya?!"
Hamna membersikan jari telunjuknya yang terus mengeluarkan darah seraya berujar, "Saya ini manusia, bukan rayap. Kenapa pula harus makan bangku sekolahan. Ibu aneh ya."
Anggi menjatuhkan pisau yang dia gunakan untuk memotong sayuran secara asal. "Kamu ini benar-benar menguji kesabaran saya. Bukannya sadar, malah terus berkomentar. Begini, nih kalau nikahin perempuan yang nggak berpendidikan."
"Saya memang hanya lulusan SMA, tapi saya tahu bagaimana caranya bersikap. Ibu baik pada saya, maka saya akan baik pada Ibu. Tapi, kan Ibu tak memperlakukan saya dengan baik, lantas sekarang Ibu menuntut saya untuk melakukan hal tersebut? Apa Ibu tidak memiliki kaca? Tidak malukah?"
Anggi berkacak pinggang. "Dasar menantu tidak tahu diri!" katanya lantas berlalu pergi.
Dia berpapasan dengan Hamzah yang hendak memasuki dapur. "Didik istri kamu yang betul, Ham. Ajarkan dia tatakrama dan juga etika, apalagi sama orang tua. Malu Mama punya mantu kayak Hamna."
Hamzah menggeleng tak suka. "Jaga ucapan Mama, kalau Hamna dengar gimana?"
"Biarin, orang itu fakta." Setelahnya dia melajukan langkah menuju kamar.
"Astaghfirullah, kamu kenapa, Na?" tanya Hamzah panik saat melihat Hamna tengah menghadap wastafel untuk membersihkan jarinya yang terus mengeluarkan darah.
"Keiris doang, nggak sampai kepotong. Aman," katanya diakhiri cengiran.
Hamzah geleng-geleng. "Jangan dibiarkan seperti itu, darahnya akan terus mengalir. Arahkan ke atas supaya darahnya berhenti."
Hamna menepis tangan Hamzah yang hendak menolongnya. "Jangan nyari kesempatan dalam kesempitan ya, Pak. Lupa apa sama kesepakatan kita?"
Hamzah menghela napas singkat. "Saya hanya ingin membantu, kalau memang tidak berkenan ya sudah."
"Kalau mau bantu mending cariin P3K, jauh lebih berguna untuk luka saya."
Lelaki itu menurut patuh dan membawakan kotak P3K seperti yang Hamna minta. "Saya hanya membantu kamu, bukan modus," ucapnya seraya menarik tangan Hamna, meneteskan betadine serta menutupinya dengan plester.
"Pegang tangan denda Rp. 100.000,00 ya, Pak. Enak saja pegang-pegang saya gratisan," ocehnya berhasil menghentikan kegiatan Hamzah yang tengah menutup kotak P3K.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
EspiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...