بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jalan takdir sudah digariskan, tak usah terlalu dipikirkan. Tugas kita hanya menjalani kehidupan."
—Rintik Sendu—
by IdrianiiinHAMNA sudah misuh-misuh karena terjebak di dalam ruangan hanya berdua dengan Hamzah. Dia benar-benar ingin segera keluar, apalagi hari sudah akan memasuki waktu malam. Mana dia tidak memiliki pakaian ganti lagi. Hamna benar-benar dibuat frustrasi!
"Ambil wudu, Na, sudah azan magrib ini," titah Hamzah yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Hamna menghentakkan kakinya kesal. "Masa saya harus salat tanpa pakai mukena lagi sih, Pak. Mana badan saya gerah lagi, saya belum mandi!"
"Ini darurat, yang penting aurat kamu tertutup sempurna. Insyaallah salatnya sah," jawab Hamzah.
Lagi pula Hamna kebetulan sedang menggunakan gamis serta kerudung segiempat, bahkan kaus kaki pun terpasang apik melindungi kakinya.
"Saya itu nggak biasa pakai kerudung lebar-lebar begini. Masa iya saya juga harus tidur gamisan sih, Pak. Nggak enak banget asli!" keluhnya.
Semula Hamna melilitkan kerudungnya di leher, karena kepentingan untuk salat, Hamzah memintanya untuk memanjangkan kerudung tersebut hingga menutup dada.
"Ambil wudu dulu ya, Na, waktu magrib singkat. Nanti ba'da isya Ayah pulang kerja. Kamu jangan khawatir, Ayah pasti akan bantuin kita."
Akhirnya Hamna pun menurut. Dia berdiri tepat di belakang Hamzah, suara takbir langsung mengalun indah. Hamna cukup terkesan dengan bacaan Hamzah yang fasih serta menenangkan, sampai tidak sadar ucapan salam sudah menguar.
Bukannya menyalami Hamzah, Hamna malah rebahan di atas sajadah. "Saya lapar A Hamzah, ini mau sampai kapan kita dikurung di sini," katanya seraya memeluk perut yang keroncongan.
Hamzah menarik kepala Hamna agar berada di atas pangkuannya. Dia elus puncak kepala Hamna lembut. "Sabar ya, Na, kita puasa dulu sebentar. Saya juga sama lapar, tadi siang kita hanya makan seblak dan lemon tea."
Hamna mendongak melihat wajah teduh Hamzah. "Kenapa sih Ibu Anda bisa sekejam itu? Padahal, kan yang tersiksa bukan hanya saya, tapi anak kandungnya juga."
"Namanya juga lagi emosi, Na, beliau gelap mata sampai melakukan berbagai macam cara."
"Nggak bisa apa kita kabur lewat jendela? Lewat apa gitu, yang penting bisa keluar dari kamar ini."
"Semua jendela di rumah ini menggunakan kunci, Na. Kita nggak bisa lewat sana, kuncinya Mama yang pegang semua. Mau dobrak pintu pun, pasti akan percuma, pasalnya saya nggak ada tenaga lebih. Kita, kan belum makan."
Hamna berdecih. "Aa lemah, dobrak pintu saja nggak bisa!"
"Bukan lemah, tapi sayang juga kalau pintu kamar saya sampai rusak. Mama akan semakin murka pada kita. Sudahlah kita jangan banyak berulah dulu, tunggu Ayah pulang saja ya, Na," bujuknya.
"Kalau saya mati kelaparan gimana?"
Hamzah malah menjitak kening Hamna. "Nggak mungkinlah, kamu ini terlalu berlebihan."
"Biasanya juga Ayah pulang jam lima, ini kenapa mendadak jadi ba'da isya? Sekongkol kali sama Ibu Anda."
"Ayah ada lembur, Na."
Hamna menghela napas panjang.
"Saya mau tanya sesuatu deh sama Aa," katanya berhasil menghentikan kegiatan Hamzah yang tengah mengelus-elus puncak kepala Hamna yang masih tertutup hijab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintik Sendu Musim Pertama
EspiritualSPIN OFF || EPILOG TANPA PROLOG Melajang di usia matang bukanlah mimpi buruk. Justru mimpi buruk yang sesungguhnya ialah, kala dia harus menerima perjodohan yang telah dirancang sang ibu. Sekadar membayangkannya saja tak mampu, apalagi jika harus t...