Didikan

1.8K 214 153
                                    

Pintu itu terbuka, menampakan seorang pemuda bermanik safir yang langsung bertemu dengan manik coklat sang ayah. Amato memberi tanda pada Taufan untuk masuk ke ruang kerjanya itu, sang anakpun mengerti dan langsung menuruti instruksi ayahnya.

"Taufan, kau sudah makan?", tanya Amato memulai. Taufan mengangguk.

"Sudah Yah"

Terdengar helaan nafas pelan dari lelaki bermanik coklat seraya ia membereskan beberapa lembaran yang berada di mejanya. Lalu ia menatap wajah Taufan sejenak.

"Kau tau kenapa ayah memanggilmu?"

"...", Taufan tak langsung menjawab. Ia berpikir sejenak demi mencari jawaban dari pertanyaan sang ayah, namun secara tak sengaja manik safir itu menangkap sebuah buku berwarna biru yang masih terbuka di meja Amato.

Barulah Taufan ingat jika hari ini adalah hari pembagian raport tengah semester akhir. Ia sedikit tersentak saat mengingatnya, sementara Amato memberi waktu untuk Taufan mengingat dan menjawab teka-teki yang ia berikan.

"Itu..raport tengah semester..", jawab Taufan ragu. Kini Amato yang mengangguk.

"Mau lihat nilaimu?", tanyanya. Mengambil buku raport yang terbuka dan memberinya pada Taufan.

Pemilik manik biru safir mengambil buku raport itu namun tanpa dilihatpun ia sudah tau, jika nilainya di semester ini lebih buruk dari semester lalu apalagi ia sampai dipanggil oleh sang ayah.

Dan benar saja, deretan angka yang ditulis menggunakan pulpen merah menghiasi kolom-kolom mata pelajaran wajib di lembaran itu, membuat sang tuan tak berani menatap mata Amato ataupun mengangkat kepalanya sekarang.

"Ayah tau kau adalah yang terbaik di bidang olahraga Taufan, tapi bukan berarti nilai akademikmu bisa sampai seperti ini", ucap Amato. Memperhatikan Taufan yang menaruh kembali raport ditangannya dan menunduk tanpa mengatakan apapun.

"Ayah membebaskanmu agar kau bisa belajar untuk mengatur waktu. Jadi kau bisa tau kapan waktunya bermain dan kapan waktunya belajar. Ayah tidak minta kau mendapat peringkat seperti Hali atau Gempa, ayah mengerti kau punya kelebihanmu sendiri."

"Kau pasti tau kan jika sekali lagi nilai raportmu begini, kau akan tinggal dikelas 11 satu tahun lagi?"

Taufan terdiam.

"Taufan..ayah sedang bicara. Apa kau dengarkan ayah?", panggil sang ayah hingga kini manik safir saudara kedua terpaku pada maniknya.

"..dengar Yah"

Jujur saja Amato tidak tega melihat Taufan bersikap seperti itu, tapi bagaimanapun ia sebagai seorang ayah akan lebih tidak tega jika anaknya kecewa dengan keputusan sekolah untuk membuatnya tinggal kelas.

Taufan yang biasa ceria dan melontarkan candaan khas miliknya, ia tidak mau kepribadian itu hilang hanya karena rasa malu. Apalagi Amato tau betul jika Taufan adalah siswa yang sangat berprestasi di bidang non akademik, tak terhitung jumlahnya medali emas, tropi, ataupun piala dan piagam penghargaan atas nama Taufan.

Namun jika semua prestasi itu tidak diimbangi dengan nilai akademik yang memadai, tentu saja kedepannya akan sulit bagi Taufan melewati masa SMA. Karena itu, ia harus tegas padanya.

"Taufan..", panggil Amato lagi.

"Apa kau punya masalah dengan pelajaran?"

Pemilik manik safir menggeleng pelan, "Ga ada Yah"

"Lalu apa kau punya kesulitan? katakan pada ayah". Lagi-lagi Taufan menggeleng. Menciptakan helaan nafas yang walau pelan namun tersirat emosi disana.

Ditatapnya lekat putra kedua dalam keheningan yang tercipta, sebelum Amato memutuskan untuk mengambil sesuatu dari sudut bawah meja. Meninggalkan Taufan pasrah pada apapun tindakan sang ayah sebagai akibat sudah mengecewakannya lagi bulan ini.

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang