Second big bro

1.9K 229 57
                                    

Pagi itu Hali sedang duduk santai di sofa sambil membaca koran karena memang libur sekolah dan ia tetap bangun lebih awal. Jadi ia memutuskan untuk memulai harinya dengan kegiatan yang membutuhkan ketenangan selagi semua saudaranya masih tertidur.

Gempapun sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk mereka tanpa mengganggu atau membuat suara yang berarti.

Rasanya begitu tenang dan damai seperti keinginannya. Semenjak Blaze dan adik-adiknya datang ke rumah itu, jarang sekali Hali mendapat ketenangan seperti ini selain di kamarnya jadi bisa dibilang ia sedang menikmati pagi yang indah sekarang.

"Selamat pagi", tiba-tiba sebuah suara terdengar dari atas tangga.

Hali menoleh, mendapati Taufan turun sambil mengecek matanya yang masih setengah terbuka.

"Pagi kak Taufan. Tumben bangun awal", sapa Gempa dari balik dapur.

Taufan mengangguk pelan, "Mau pergi dengan teman-temanku.", ucapnya sebelum melangkah menuju sofa dan menghempaskan diri di sebelah sang kakak.

"Motormu kan masih disita sama Ayah", ucap Hali memperingatkan sang adik.

Pemilik manik safir itu menguap malas sambil menyender dan memejamkan matanya tanpa ambil pusing dengan Hali, "Nanti Faisal yang jemput"

"Taufan..."

"Hm"

"Fan", panggilan kedua Hali membuat Taufan membuka mata. Betapa terkejutnya ia saat wajah Hali sudah berada didepannya hingga pemilik manik safir itu terperanjat hampir berteriak.

"Kak Hali!! hobi banget ngagetin sih!!", omel Taufan kesal.

Hali tak menjawab, ia menaruh koran yang tadi ia baca lalu berdiri menghadap adiknya dengan raut wajah sedikit khawatir yang coba ia sembunyikan.

"Kau...sudah minum obat?", tanya saudara sulung itu tiba-tiba.

Sang adik terdiam sejenak, sebelum mengalihkan wajahnya dan kembali menutup mata santai. "Lupa", jawab Taufan seakan tidak ada beban setelah mengucapkan kata itu.

Sudah pasti ekspresi Hali berubah menjadi garang karena alasan Taufan yang sudah sangat basi untuk ia dengar, tatapan tajam dari manik merah kini terarah pada adik pertamanya walau yang ditatap lebih memilih untuk mengabaikannya.

"Jangan membohongiku ya Fan! kenapa kau tidak minum obat?", tanya Hali emosi.

"Ga sakit kok, kenapa harus diminum?"

Mendengar ucapan Taufan, Hali menangkap wajah sang adik hingga berhadapan dengannya. Menampakkan wajah yang sudah pucat tanpa rona sedikitpun sertakan sorot mata lelah Taufan, menunjukan jika ia sedang tidak baik-baik saja saat ini.

"Pertanyaan macam apa itu? lihat dirimu sudah seperti mayat hidup! kau tidak mau sembuh hah?!"

"Mau diminum sampai kapapun juga tidak akan membuatku sembuh kak. Percuma saja", jawab Taufan sedikit memundurkan wajah agar terlepas dari tangan Hali, lalu ia kembali menutup mata. Raut wajahnya menunjukan sedikit kekesalan karena sang kakak membahas topik yang tidak ia suka.

Sementara Hali masih menatap tajam, kini helaan nafas kasar terdengar darinya.

"Gempa! liat ulah kakakmu ini!", teriaknya pada pemilik manik amber.

Namun sepertinya daritadi Gempa sudah mendengar perbincangan kedua kakaknya jadi tak berselang lama ia sudah berjalan menuju ruang tamu dimana Hali dan Taufan berada.

"Kak Taufan", Taufan tidak menjawab. Ia tau betul adiknya juga akan ikut mengomel, karena itu ia hanya pura-pura mencoba tidur walau saudaranya tau Taufan masih terjaga.

Gempa duduk di sebelah sang safir, menyentuh lembut tangan Taufan untuk membujuknya. "Kakak harus minum obat, kakak pasti tau kan kalau kakak kambuh akan sangat menyiksamu. Nanti Gempa traktir deh gimana? sekarang Gempa ambilkan obatnya ya"

"..."

"Kak, ayolah. Kakak mau kan menuruti permintaanku?"

Masih tidak ada jawaban.

Belum sempat kembali membujuk, bahkan Hali yang berniat angkat bicara terhenti karena Taufan bersuara.

"Apa gunanya ditraktir tapi tidak bisa memakan semua yang aku mau?"

Jawaban menohok itu sukses membuat Hali dan Gempa terdiam seribu bahasa. Darah mereka terasa berdesir mendengar ucapan Taufan yang memang sebuah kenyataan, fakta jika sebagian besar makanan dan minuman yang saudara kedua itu suka namun justru lebih memperburuk kondisinya membuat Hali dan Gempa tidak mampu mengatakan apapun lagi.

Keheningan tercipta di ruangan berisi tiga orang saudara kandung yang sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sampai Taufan memutuskan bangkit dari posisi menyendernya dan berlalu begitu saja tanpa menoleh kedua saudaranya.

"Mau kemana kau?", tanya Hali dingin.

Tanpa menoleh, Taufan kini menaiki tangga dengan berpegangan pada pegangan kayu halus di pinggirannya. "Mandi. Bentar lagi Faisal datang"

"Tidak boleh pergi kemanapun. Diam dikamar sampai kondisimu membaik"

"Ga mau"

"Taufan!!", bentak Hali akhirnya.

"Jangan bersikap seperti ini pada kakakmu! aku khawatir padamu Fan!", ucap sang sulung. Namun seakan tidak mau mendengarkan apapun dari kakaknya, Taufan hanya berjalan naik sampai dikamarnya dalam diam.

Segera setelah membuka pintu kamar berbahan kayu itu, sebuah bantingan yang cukup keras terdengar sebagai tanda kemarahannya pada situasi ini. Selalu saja, selalu dirinya yang berbeda. Ia benci akan hal itu.

Kenapa Hali dan Gempa bisa melakukan segala hal yang mereka mau? sementara dirinya tidak? terlalu banyak halangan untuk Taufan. Tidak boleh makan ini dan itu, bahkan pergi bersama teman-temannya saja tidak boleh karena tubuhnya yang selalu kambuh. Taufan benci karena ia harus patuh padahal ia hanya ingin mencari udara segar.

Dan ia lebih kecewa saat bahkan sang ayah juga bersikap tidak adil padanya, apalagi jika sudah Hali yang melaporkan tentang ketidaksukaannya pada obat. Dititik itu Taufan selalu saja merasa terasingkan, ia akui ia sangat menyayangi keluarganya tapi saat berhubungan dengan penyakit yang menurutnya sialan itu, ia menjadi tidak suka pada sikap mereka.

Sesaat pintu itu tertutup dengan kasarnya, Taufan mengambil ketiga botol kecil yang berada di meja kecil sebelah tempat tidur miliknya lalu melempar obat itu ketempat sampah sebelum menghempaskan diri dan membenamkan wajahnya di bantal sebagai tempatnya mengadu.

Tanpa terasa air mata sudah mengalir dari manik safir Taufan, seakan tau betapa marah dan tidak berdaya tuannya. Seakan ikut mengeluh pada Tuhan tentang ketidakadilan yang ia terima. Tak butuh waktu lama sampai isak tangis tertahan terdengar dari balik punggung rapuh itu.

Kalian tidak pernah tau rasanya jadi aku

Apa susahnya sih kalian membiarkan aku melakukan apapun yang kumau?

Setidaknya sampai aku pergi meninggalkan kalian.

Sampai kapan?

Sampai kapan kalian akan berharap aku sembuh?

Semua itu tidak mungkin

Sampai kapan aku harus terus hidup seperti ini?

Aku hanya ingin kalian mengerti,

Kalau aku sudah tidak kuat lagi.

.

.

Author's Note

Emang aku lagi hiatus but ini draft udah agak lama so aku post aja hehehe

Semoga bisa menjawab pertanyaan yang bakal muncul di masa depan yah:)

Jadi gimana nih menurut kalian guys? ada yang tau Taufan sebenernya sakit apa? komen yang banyak yah hehe nanti pasti author balas satu-satu kalo udah ga sibuk:)

Well, see u on the next update....

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang