If that way is not work, this will be the one

597 105 24
                                    

Lelaki itu berjalan pelan. Bukan karena ia tak ingin mempercepat gerakannya, namun rasa lelah dan keterbatasan seorang manusia telah menghalangi langkahnya yang putus asa.

Keringat membanjir ditubuhnya, nafasnya memburu, namun ia tidak mau menyerah. Tidak untuk orang yang tengah berada dipunggungnya kali ini. Orang yang sedang ia gendong, ialah alasan untuk lelaki itu tak boleh menyerah.

Anak laki-laki bermanik oranye itu, nafasnya semakin lemah. Entah kenapa, pandangannya semakin buram, terkadang ia rasakan menggelap.

Tangannya yang gemetar memegangi perutnya yang mengalirkan darah sepanjang perjalanan mereka, sementara tangan lainnya melingkar dileher sang ayah. Tangan yang lemah itu, gemetar, iapun tak tau kenapa ia akan berada sedekat itu dengan orang yang ia benci.

"Jika..", bisik Blaze pelan, hampir tak terdengar.

"jika aku mati..adikku akan bagaimana?". Amato menggeleng.

"Jangan bicara seperti itu, kau akan baik-baik saja. Bertahan Blaze, sebentar lagi kita akan sampai", hibur sang ayah. Walau Amato berusaha untuk tenang, namun punggungnya yang terasa hangat dan basah oleh sebuah cairan dari putranya tak bisa memungkiri kepanikkannya.

"Tidak akan sempat..", bisik Blaze lagi. "Tubuhku..sudah tidak bisa kurasakan lagi..."

"...jika..aku mati..katakan padanya, aku sangat mencintai Ibu..juga adikku..."

Tak sadar, air mata putus asa menetes dari manik coklat ayahnya itu. Begitupun dari manik oranye Blaze yang perlahan terpejam. Ia tak menyangka, jika ia akan berakhir seperti ini. Berakhir ditangan orang yang menjadi musuh keluarganya.

Hanya beberapa waktu lalu, dua buah peluru panas menembus tubuhnya. Meninggalkan rasa sakit yang luar biasa, seakan jiwanya ingin segera lepas dari tubuhnya yang lemah. Rasa sakit luar biasa yang pernah ia alami dalam hidupnya. 

Namun, jika ditanya kenapa ia datang ketempat berbahaya itu, iapun tak tau kenapa.

Bahkan ia tak menyesali keputusannya.

Karena dengan hal ini, Blaze menyadari sesuatu yang seharusnya ia sadari lebih awal. 

Ia eratkan sedikit pegangannya pada leher sang ayah, merasakan detak jantung yang berdegup sangan kencang. Rasa panik yang dapat ia rasakan dari lelaki yang tak pernah ia anggap selama ini.

Jalanan yang sepi, terukir darah dari tubuhnya yang tak henti. Namun ditengah lukisan merah itu, tercampur darah sang ayah yang juga naas terkena tembakan. Lalu, kenapa ia masih kuat membawa Blaze dari jauh sana?

Apakah ia tak merasakan rasa sakit?

Manik oranye itu memandang gelapnya jalanan didepan, seakan mereka ulang memori miliknya. Pahit dan manisnya kehidupan yang ia jalani berasama keluarga kecilnya. Air mata menitik dari manik oranyenya. Semakin membasahi bahu lelaki bersurai kecoklatan dengan sedikit putih itu.

"...maaf..ayah..". Ucapnya untuk terakhir kali. Sebelum segalanya menjadi gelap. Sebelum kehampaan dan penyesalan memenuhi jiwanya.

.

.

.

Lelaki itu membuka matanya tiba-tuba. Refleks, ia bangun. Keringat membanjir ditubuhnya, nafasnya memburu. Namun, segera ia sadar jika yang ia dapati bukanlah jalanan yang gelap, melainkan furniture kamar yang tak asing untuknya.

Astaga..

03.02 malam

Mimpi..

Amato merasakan baju kaos putih yang ia kenakan, kini basah oleh keringat tubuhnya sendiri, sungguh, itu benar-benar adalah mimpi yang buruk. Ia mengusak surainya kasar, mencoba menghapus rasa panik yang ia rasakan baik didunia mimpi maupun didunia nyata.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang