"Halilintar, Taufan, Gempa. Diam disini", perintah Amato membuat ketiga putranya sedikit tersentak, begitupun tiga adiknya ikut berhenti mendengar kakak mereka dipanggil.
"Ayah memanggil mereka, bukan kalian. Cepat masuk kamar", perintah sang ayah lagi kali ini pada Blaze, Solar, juga Thorn.
Memang nasib sial mereka hari ini, baru beberapa jam saja mereka asik mandi di sungai dekat kebun kelapa sebagai rencana yang diam-diam Taufan dan Blaze buat bersama Hali, Gempa, juga kedua adik bungsu mereka, namun entah darimana sang ayah bisa tau.
Tidak mungkin Ice kan yang memberitahunya? Blaze sudah menyuap manusia aqua itu dengan banyak cemilan agar tidak mengatakan apapun. Tapi kalau sudah terlanjur ketahuan seperti ini mereka hanya bisa pasrah menghadapi omelan sang ayah yang pasti akan berdampak berjam-jam kemudian.
Ya terutama bagi kembar triplet, jangan tanya kenapa. Tanpa rasa bersalah mereka malah menjadi pelopor lolosnya mereka berenam sampai berhasil keluar rumah dan bersenang-senang di hulu sungai sana.
Sepertinya jiwa remaja mereka yang kental berhasil mengesampingkan rasa canggung antara mereka dan saudara baru, walaupun pada akhirnya mereka sedikit iri karena Blaze, Solar, dan Thorn lolos begitu saja sementara mereka harus tetap berada di ruang tamu.
. . .
"Kalian mengajari adik-adik kalian hal buruk ya? hm?", Tanya Amato menghadap ketiga anaknya yang berjejer dengan ekspresi berbeda.
"...terutama kau Hali", ucapnya lagi menoleh sang sulung.
"Adik-adikmu berbuat nakal, kau bukannya menasihati malah ikut main ke sungai saat air sedang besar. Bukan hanya kau tidak bisa menjaga diri sendiri tapi juga tidak bisa menjadi contoh bagi adik-adikmu"
Hali tidak menjawab. Namun walau begitu dia sedang mendengarkan sang ayah dengan seksama karena memang sedikitnya ini memang salahnya untuk ikut bermain tadi.
Amato kini menoleh pada Taufan. "Ini pasti idemu kan Taufan?", tanyanya membuat Taufan mengangkat kepala hingga mereka bertatapan.
"Bu-bukan, ini--idenya Blaze kok"
"Masih berani berbohong?"
Pemilik manik safir itu kembali menunduk, "Iya, itu ideku".
Terakhir, giliran Gempa yang mendapat tatapan dari sang ayah. Membuatnya menelan ludah karena bisa dibilang ini pertama kali ia harus bertanggung jawab terhadap seorang 'adik'. Tentu saja karena ia anak bungsu sekaligus bukan tipe anak nakal seperti Taufan jadi ia jarang dihukum oleh Amato.
Manik emas ambernya terpaku pada dada lelaki itu alih-alih menatap matanya.
"Dan kau Gempa, kau memiliki adik sekarang. Ayah tidak akan memperingan hukumanmu karena tidak menjaga adik-adikmu dengan baik. Sekarang kau dan kedua kakakmu ini adalah kakak tertua, ayah tidak mau tau, kalau lain kali kalian melakukan kesalahan, orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah kalian. Paham?"
"Paham Yah", jawab Gempa.
"Sekarang bagaimana ayah harus menghukum kalian?"
Tak ada yang menjawab, lebih tepatnya mereka tidak tau harus menjawab bagaimana. Hanya bisa berharap jika sang ayah tidak menyuruh mereka membersihkan sesuatu seperti Gudang atau tempat lainnya yang pasti sangat melelahkan. Atau mungkin tidak boleh menggunakan fasilitas mobil kesekolah yang artinya mereka akan ikut jalan kaki bersama Taufan selama seminggu atau bahkan sebulan? ah tidak.
Amato menghela nafas karena sikap diam putranya, "Angkat satu kaki kalian", ucapannya langsung membuat ketiga remaja itu serentak menatap sang ayah.
"Yah, kami kan udah besar. Masa ayah mau menghukum kami begitu sih? nanti dilihat sama yang lain gimana?", keluh Taufan tak terima.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause We are Family
FanfictionHubungan persaudaraan. Hal yang kompleks penuh hamparan emosi. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tak saling mengenal bahkan tak tau sedang menghirup udara yang sama. Namun waktu seakan mengikis semua keasingan walau dibayar dengan makin rumitnya keh...