"AMPUN!!!!"
"Tidak ada ampun bagimu!!! berani-beraninya kakak merusak eksperimenku!! jangan lari kak Taufan!!", teriakan penuh amarah menggema diseluruh penjuru rumah sertakan Taufan yang berlari dengan baju birunya yang kusut terkena asap hitam.
Tak lain dan tak bukan, orang yang mengejarnya adalah sang bungsu bervisor penuh amarah lengkap dengan tongkat baseball yang ia ambil dari kamar Blaze.
Keributan itu memancing semua orang untuk melihat keadaan mereka di ruang tamu, Amato dan Elia pun ikut keluar kamar karena mendengar teriakan dari anak kedua mereka. Taufan langsung berlari ke belakang sang ayah saat sosok lelaki paruh baya itu terlihat oleh manik biru safirnya.
"Ada apa ini? ribut sekali', tanya Amato bingung.
"Ini Yah, masa Solar mau memukul aku dengan tongkat itu? hanya karna aku mau belajar bereksperimen darinya, jahat sekali kan Yah", adu Taufan yang tentu saja mengundang tatapan tidak terima dari Solar.
"Belajar apanya?! kau meledakkan ramuan yang aku buat selama 3 hari, pasti kakak sengaja kan?"
"Nggak kok, mana aku tau cairan itu bisa meledak, aku kan cuman mau nambahin warna biru biar keliatan keren", ucap Taufan membela diri tanpa rasa bersalahnya.
Solar semakin kesal dengan pembelaan sang kakak yang baru ia kenal tiga hari kurang sedikit itu, tanpa ragu ia mendekat hingga Taufan memeluk ayahnya memutar untuk menjadi tameng dari kemarahan ilmuwan penuh emosi didepannya.
"Yah selamatkan aku Yah", rengeknya.
"Solar, maafin kakakmu ya. Dia kan tidak sengaja, lain kali pasti dia lebih berhati-hati kok", Elia ibu mereka akhirnya angkat bicara, nadanya penuh kelembutan khas seorang wanita.
"Tidak bisa! percobaanku itu sangat penting dan bahkan aku belum mencatat semua komponennya, enak saja aku harus memaafkan dia", ucap Solar kesal.
Sementara Amato menghela nafas, dengan ringan tangannya kini meraih telinga sang manik safir, menjewernya hingga Taufan mengaduh sambil menjinjit agar tarikan sang ayah tidak membuat daun telinganya putus.
"Siapa yang paling bandel?", tanyanya seraya menghadap Taufan tanpa melepas jewerannya.
"Aduh aduh! Taufan Yah. Aduh sakit, lepasin dong Yah"
"Hm, tau juga kau paling bandel. Sekarang apa yang harus kau lakukan agar dimaafkan oleh adikmu?", tanya Amato lagi. Sepertinya ia sudah terlalu biasa menghadapi kenakalan anaknya yang satu itu, sudah bukan hal baru untuk menjewer telinga sang safir karena memang dia itu paling sering bertingkah seenaknya.
"Ya mana aku tau, Gempa kan tidak pernah marah-marah seperti Solar Yah"
"Kau yakin?", ucap Amato seraya menambahkan kekuatan pada tangannya.
"Aduhh! iya iya, Solar woy, aku akan beresin laboratoriummu. Aku janji tapi maafkan aku ya"
"Ga mau, kak Taufan tidak boleh menyentuh semua bahanku sama sekali. Nanti malah kau rusakkan lagi"
Taufan meringis karena jeweran ditelinganya belum juga lepas dan Solar sudah terlanjur ngambek, "Yaudah aku harus ngapain agar kau memaafkanku?"
Setelah berpikir beberapa saat, Solar menemukan sebuah ide bagus yang sedikit menguntungkannya dalam situasi ini, wajah tampannya berusaha ia pertahankan agar tetap cool tapi dalam hati Solar jadi excited sendiri.
"Cari beberapa hal yang mau aku jadikan bahan eksperimen", ucap Solar akhirnya.
Taufan mengangguk cepat, "Iya iya, nanti aku carikan ya. Sekarang jangan ngambek lagi dong, kau tidak kasihan apa melihat abangmu yang paling tampan sedunia ini tidak memiliki telinga? tolong kasih tau ayah buat lepasin ya Solar adik kesayanganku"
Gempa yang ikut melihat tingkah Taufan kini mendengus pura-pura kesal dengan ucapan sang kakak, "Kakak juga panggil aku adik kesayangan kalo aku lagi marah", ucapnya dibarengi Elia yang tertawa kecil.
"Eh--ehehe itu...kalian semua adik kesayanganku deh, nanti abang traktir pudding vanilla gimana? bang Hali yang bayarin katanya"
"Enak aja, mau kujewer?", sudah pasti Hali tidak terima mau diperas oleh Taufan.
"Nggak bang, bercanda elah. Yah lepasin dong, kan Solar udah tenang nih"
Amato menoleh kini menatap Solar, "Kakakmu ini kau maafkan Solar?", tanyanya.
Solar menghela nafas lalu mengangguk. Amato pun melepas jewerannya meninggalkan telinga Taufan yang memerah sertakan sang tuan mengelusnya seakan baru saja disakiti.
"Kenapa sih? ga bang Hali ga ayah, suka banget jewer telingaku? kalian kejam", keluh Taufan sambil berekspresi kesal yang didramatisasi.
"Makanya jadi makhluk itu ga usah ngeselin, kalau kau tidak bertingkah seenaknya ga akan ada yang menjewermu, paham kau?", ucap Hali mencampuri nasihat dengan keluhan.
"Mikinyi kili jidi mihlik iti gi isih ngisilin", sebuah tangan mendarat dikepala Taufan, mengacaknya gemas akan kelakuan absurd namun menggemaskan dari pemuda safir itu sertakan tawa terdengar diruang tamu. Amato dengan bahagia membuat surai sang anak berantakan sengaja agar Taufan semakin kesal karena menurutnya ya lucu saja melihat ekspresi itu, Taufan hanya meringis namun tetap membiarkan tangan besar sang ayah mengusak rambut miliknya.
________________
Disebuah kamar, seseorang tengah menatap refleksi dirinya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Manik aqua itu menyiratkan rasa khawatir dalam keheningan kamar sertakan suara samar dari keributan di ruang tamu.
Lama Ice terduduk tak bergerak seraya terus memutar botol kecil ditangannya, lalu ia menghela nafas.
"Kurasa berhenti sementara waktu tidak apa-apa", gumamnya seraya bangkit dan membuang botol kosong ke tempat sampah.
Ia kini beranjak keluar kamar dan melihat pemandangan senda gurau dari atas tangga, semua ini terasa asing baginya. Sudah lama sekali ia merasakan kehangatan seperti ini walaupun kehidupan mereka bersama sang ibu dulu bisa dibilang bahagia, tapi kehadiran Amato seakan membawa kembali bagian hilang yang mereka butuh.
Sosok seorang ayah yang adil, bijaksana juga penyayang perlahan mampu membuat Ice menerima Amato, begitupun sebuah kepercayaan secara tak biasa tumbuh dalam dirinya dan walau ia tak mau mengakui tapi hatinya merasa keputusan sang ibu untuk menikah dengan pria ini bukanlah keputusan yang salah seperti dugaannya.
Ice melukiskan sebuah senyum tipis di wajah datarnya, namun tanpa sengaja ia melihat seseorang menyadari kehadirannya dari bawah membuat senyuman menghilang seketika.
Manik biru laut dan ruby itu bertemu untuk kedua kalinya, sama-sama dingin menyiratkan kecanggungan kental bersama rasa penasaran yang samar. Jujur, dari ketiga saudara barunya, ia merasakan sensitivitas lebih besar pada Halilintar. Entah kenapa tapi tersirat rasa yang tak dapat ia deskripsikan dengan kata-kata, apakah ini perasaan takut? tidak suka? atau hormat? iapun tak mengerti.
Semua ini masih terlalu menggumpal untuk membuat Ice familiar dan ikut membaur seperti Blaze, Solar, dan Thorn, setidaknya mungkin ia butuh lebih banyak waktu agar lebih mengenal tiga kembar yang sepertinya memegang kepribadian kuat itu.
Ice membalikkan badan dan berjalan menuju kamar, mengabaikan sepasang ruby yang masih menatapnya dari tadi.
Introvert akut ternyata, pantas saja tidak mau bicara denganku. Batin Hali, sedikit kesal adik barunya ternyata tipe manusia pendiam namun menyebalkan dan sudah bersikap tidak hormat padanya sebagai seorang kakak sulung.
______________
Author Said :
Udah ga usah ditanya lagi ya betapa bandelnya si Taufan, sampe adek baru aja digangguin sama dia. Masih untung kamu ganteng Fan, kalo ngga udah author balesin tuh dendam Solar sekalian dendam kesumat Hali dan Gempa yang udah hadepin kamu dari dulu.
Ada pula double kulkasmen lagi tatapan, spoiler kah? iya hehe.
Well, silahkan kasih author komen kalian baik itu saran, kritik, ataupun pendapat kalian tentang cerita ini ya readers:]
See u on the next up:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause We are Family
Hayran KurguHubungan persaudaraan. Hal yang kompleks penuh hamparan emosi. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tak saling mengenal bahkan tak tau sedang menghirup udara yang sama. Namun waktu seakan mengikis semua keasingan walau dibayar dengan makin rumitnya keh...