Daun yang mengirikan tanah

1.8K 223 46
                                    

Pagi itu adalah hari yang cerah ditemani sinar matahari pagi sertakan kicauan burung bersahutan di luar sana.

Di kediaman rumah para bersaudara, nampaklah keenam pemuda berseragam sekolah putih abu lengkap dengan topi yang mereka gantung di gantungan ikat pinggang sedang menikmati sarapan dari sang ibu. Tak lupa ayah mereka juga membantu menyiapkan lauk untuk dibawa ke meja makan agar semua putranya bisa langsung makan.

Suasana terasa biasa saja sampai seorang lagi pemuda baru keluar dari kamarnya dan menuruni tangga dengan senyum damai.

"Selamat pagi semua", sapa pemuda itu.

Sontak semua orang menoleh, menautkan manik masing-masing pada si manik coklat amber yang mendekat.

"Selamat pagi Gempa", jawab Elia dibarengi senyum ramahnya.

"Pagi Gempa", jawab Taufan.

"Selamat pagi juga Gempa. Wah anak ayah bisa bangun jam 6.30 ya", kali ini Amato yang menjawab dengan candaannya mengingat Gempa sudah seminggu bangun lebih terlambat dari biasanya. Anak bungsunya itu hanya terkekeh kecil menanggapi ucapan sang ayah.

"Hehe, maaf Yah. Besok akan aku usahakan bangun lebih awal"

Amato meraih bahu sang anak untuk membalikannya dan membenahi dasi Gempa yang sedikit miring. "Tidak apa-apa. Bagaimana kondisimu?"

"Sudah baikan Yah, jauh lebih segar dari tiga hari lalu", jawab Gempa enteng.

"Obatmu sudah habis?"

"Sudah. Kemarin malam yang terakhir"

Amato tersenyum, lalu mengelus lembut rambut kecoklatan dengan sejumput putih milik Gempa. "Bagus. Kau sarapan dulu yang cepat, sebentar lagi sudah mau jam 7". Pemilik manik coklatpun mengangguk patuh pada ucapan sang ayah sebelum beriringan menuju meja makan.

"Oh iya Yah, nanti kalau ayah ada waktu, boleh ga ayah bantu aku mengerjakan PR Bahasa Inggris? bab sekarang tentang Past Future Tense jadi aku sedikit bingung"

Sang ayah sedikit mengerutkan alisnya, "Past Future Tense? bukankah baru kemarin kau belajar tentang Present perfect continuous tense?", tanyanya.

"Mn, aku sudah pelajari tenses lain juga tapi malah berhenti di Past Future Tense karna susah sekali Yah. Mungkin hanya kak Hali yang bisa mengerti bab itu"

Amato mengangguk paham, "Ya sudah. Ayah usahakan pulang lebih awal tapi ayah tidak janji okay? jangan tunggu ayah. Lebih baik bangun jam 5 pagi, biar kau tidak bergadang", ucap pria bermanik amber itu. Ucapannyapun dibalas dengan anggukan semangat oleh sang anak.

Gempa tertawa kecil, lalu memeluk sang ayah tanpa beban sama sekali. "Makasi ya Yah. Ayah memang ayah terbaik sedunia deh"

"Hmm, pintar sekali merayu putra ayah ini". Jawab Amato seraya menarik kursi di meja makan sebelah Taufan dan membiarkan Gempa duduk.

Sementara para peserta sarapan juga Elia hanya melihat bagaimana ayah dan anak itu berinteraksi, terlihat sangat hangat dan penuh kasih sayang layaknya sebuah keluarga yang harmonis. Ditambah dengan wajah teduh dan polos Gempa yang membuatnya terlihat mirib dengan kharisma Amato.

Saking asik terpaku pada Amato dan Gempa, sampai tak ada yang menyadari jika ada seseorang yang entah kenapa tersirat sebuah perasaan yang tak mau ia akui saat ini.

Thorn. Terlihat jelas ia menatap iri pada perlakuan yang Gempa dapat dari ayah mereka. Padahal tidak ada yang spesial dari percakapan sehari-hari itu namun entah apa yang membuat Thorn ingin berada diposisi Gempa, ia tak tau.

Thorn memang pernah dengar jika Gempa adalah anak kesayangan di keluarga ini, ah tidak, bisa dibilang memang Gempa sudah jelas adalah anak spesial yang tidak bisa dibandingkan dengan Hali atau Taufan apalagi ia dan kedua kakak serta adiknya?

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang