Ruby, the oldest son

2K 221 67
                                    

Kini Amato berdiri tepat didepan putra pertamanya, walau tak membuat manik mereka bertemu namun ia tau jika atensi Hali sepenuhnya ia dapatkan saat ini.

"Keluarkan tanganmu", perintah Amato tegas. Jika tadi ia masih menahan diri pada putranya yang lain, namun kali ini ia menunjukan emosi yang sebenarnya.

Hali menurut, mengulurkan tangan tanpa mengatakan apapun apalagi menatap manik sang ayah. Ia tau betul jika Amato akan membuatnya berada dalam situasi dimana ia harus bertanggung jawap untuk keributan yang telah ia buat, ia sudah terbiasa untuk itu.

Sementara lelaki bersurai kecoklatan dengan sedikit putih itu kini membenarkan posisi tangan sang sulung menggunakan tangannya. Lalu tanpa aba-aba apapun, ia memukul keras telapak tangan Hali.

Tentu saja reaksi perih langsung dirasakan oleh pemilik manik ruby. Belum lagi rotan sang ayah kembali melayang, satu demi satu sampai empat pukulan sekaligus tak peduli Hali terlihat menahan sakit walau ia tetap diam.

Seakan menutup mata pada reaksi Hali, Amato kembali mengangkat rotan ditangannya dan menghempaskan rotan itu sampai lima kali tanpa henti. Jangan lupakan jika kekuatan dalam setiap pukulannya lebih besar daripada saat ia memukul Taufan dan adik-adiknya tadi.

"Benarkan tanganmu! kau masih punya 20 kali lagi", perintah pemilik manik coklat.

Mendengar ucapan sang ayah, Hali mengangkat kepalanya memberanikan diri untuk menautkan manik rubynya pada Amato seperti menanyakan kenapa hukumannya begitu jauh berbeda dari yang lain? lagi, jumlah itu sangat banyak jika dibandingkan dengan jumlah hukumannya dulu.

Amato menyadari isi kepala putranya itu, karenanya ia kini membalas dengan tatapan tajam lagikan penuh determinasi selagi memberi jeda pada hukuman sang anak.

"Kau mau bertanya kenapa?", tebaknya.

Tak ada jawaban dari Hali.

"..sekarang ayah tanya padamu, apa kau hanya bertanggung jawab pada Taufan dan Gempa? tidak kan? kau sudah gagal bertanggung jawab pada enam orang sekaligus"

"Tidak menjalankan tugas sebagai kakak, tidak menjaga diri sendiri dan saudaramu sampai terluka seperti ini, menjadi penyebab keributan dirumah, apa ini hasil dari kepercayaan yang ayah berikan padamu?", ucap Amato lagi. Mendeskripsikan setiap segi kesalahan Hali kali ini.

Pemilik manik ruby terdiam, tidak tau harus menjawab seperti apa.

"Apa kau menjadi bisu sekarang? sampai tidak bisa menjawab ayah?"

Merasa diharuskan untuk menjawab, Perlahan suara Hali terdengar diantara keheningan. "..Blaze yang mulai duluan Yah, aku hanya memperingatkannya tapi dia malah melawanku", belanya.

Amato menghela nafas untuk lebih menenangkan dirinya tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan pada sang putra pertama itu. "Seorang kakak dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, bukan dengan emosi sesaat yang bisa merusak hubungan persaudaraanmu, Hali"

Lagi, tak ada jawaban.

Reaksi diam Hali membuat Amato kembali membenarkan tangannya yang sedikit turun menggunakan rotan. Lalu sebuah pukulan untuk kesekian kali mendarat di telapak tangan Hali, sebisa mungkin Hali tidak menciptakan suara apapun selagi manik rubynya menatap tidak rela pada tangannya yang terus mendapat pukulan dari sang ayah.

Lima kali lagi tanpa jeda, permukaan kulit yang tadinya berwarna putih kemerahan kini menjadi benar-benar merah dengan bekas benda memanjang di setiap bagiannya. Bahkan tangan itu gemetar akibat sensasi perih dan teramat sakit yang dirasakan oleh sang tuan.

Lagi-lagi rotan Amato terangkat, memukul tangan putranya dengan keras. Meninggalkan Hali semakin tersiksa sampai air mata menitik dari maniknya.

Secara refleks tangan itu menjauh, "Sudah Yah..jangan pukul lagi..."

Namun tanpa ampun Amato kembali menarik tangan sang sulung dengan paksa dan menghempaskan rotan ditangannya keras tak peduli Hali semakin kesakitan.

"Mas..sudahlah--"

"Jangan dibela.", ucapan Elia yang tidak tega terpotong oleh sang suami.

"..agar putra sulung kita ini mengerti tentang arti sebuah tanggung jawab dan amanat", ucapnya sebelum mengangkat tangan lalu kembali memukul Hali keras dua kali berturut-turut.

Wajah Hali benar-benar memerah kali ini, isakan tertahan yang tidak bisa dikendalikan terdengar. Namun bukannya merasa iba, Amato kembali memukul tangan Hali bahkan lebih keras dari sebelumnya.

"Menangis! menangis lebih keras!", bentak lelaki itu dengan emosi tertahan.

"Ini adalah kesalahanmu sendiri, jadi kau harus menerima akibatnya". Lagi sebuah rotan yang dihempaskan keras mendarat di permukaan telapak tangan Hali meninggalkan air mata sang tuan semakin deras membasahi pipinya yang membiru akibat perkelahian tadi.

"..tapi..Blaze yang mulai duluan Yah", bela Hali. Berharap jika sang ayah lebih mendengar alasannya.

Pembelaan Hali justru tak mengubah apapun, Amato menggeleng pelan. "Kau masih belum mengerti letak kesalahanmu"

Lalu memukul telapak tangan sang sulung tiga kali sampai isak tangis Hali semakin tidak bisa dibendung.

"...ayah..maaf", ucap Hali memohon. Mungkin karena rasa sakit yang sudah tidak tertahankan, ia mengesampingkan egonya untuk meredam amarah sang ayah.

"Untuk apa minta maaf pada ayah? minta maaf pada dirimu sendiri. Badan sudah terluka karena berkelahi, masih harus menerima hukuman. Apa kau tidak kasihan pada tubuhmu?"

Hali terdiam dalam isaknya, kepalanya menunduk selagi tangannya yang gemetar hebat masih mengulur karena hukumannya belum selesai.

Melihat itu, sebuah helaan nafas kembali tercipta dari Amato, "Hali. Ayah percaya padamu", ucap Amato akhirnya. Nada itu melembut, seakan berusaha untuk memberi pengertian pada Hali.

"Dari semua anak ayah, ayah lebih tenang jika menyerahkan mereka pada Hali. Tapi hari ini saat melihat kalian berkelahi seperti orang asing, apa Hali tau betapa kecewanya ayah?"

"Ayah tidak pernah melarangmu berkelahi, kau lihat Taufan sebagai contoh. Selama dia bisa menanggung akibatnya apa pernah ayah melarang Taufan berkelahi? tapi berkelahi dengan saudara sendiri, apapun alasannya itu sudah salah, Li", lanjut Amato.

"Tatap ayah kalau ayah bicara", perintahnya menuai manik ruby yang sudah memerah menatap manik coklatnya.

Rotan yang sedari tadi memukul Hali kini bertengger dipermukaan telapak tangannya lagi, namun kali ini memberi tanda bahwa hukumannya selesai.

"..kali ini ayah maafkan. Tapi jika terulang lagi, Hali tau sendiri akibatnya. Kau mengerti sekarang?"

Memerangi isak tangis yang masih ada, Hali mengangguk pelan. "Mengerti Yah"

Ada sedikit keheningan sebelum Amato memutuskan untuk meraih bahu sang anak lembut, sementara Hali menghapus setiap air mata yang membendung di maniknya sebelum berhasil turun lagi.

"Ya sudah, kau naik keatas. Basuh wajahmu dan tunggu ayah, ayah akan mengecek kondisi Gempa dulu lalu biar ayah kompres tanganmu", ucap Amato dijawab anggukan lagi oleh Hali selagi ia berbalik menuju tangga.

Lelaki itu kini memandang punggung sang saudara pertama, rasa bersalah terpancar jelas dari tatapannya sebelum ia menoleh pada Elia yang juga sedang menatap Hali dan kini kedua manik mereka bertemu. Seakan mengeluhkan hal yang awalnya mereka optimiskan namun sekarang malah terasa berat dan kompleks.

_______________

Author's Note

Well, sebenernya chapter ini dan chapter sebelumnya jadi satu tapi kalo dipikir-pikir bakal panjang banget deh but gapapa sih soalnya lebih baik karna hukuman Hali emang dipisahkan sama saudaranya yang lain kan.

Hmm ada yang bisa hitung berapa kali Hali dipukul?

Jujur aja waktu author nulis entah kenapa tangan auth berasa mati rasa gitu hahaha.

Jadi gimana pendapat kalian tentang chapter ini guys? silahkan komentar yang banyak ya.

Soalnya abis ini mungkin agak lama up selanjutnya karna ada sebuah cerita (ekhem) yang udah agak lama ga author tulis hehehe.

So as always, see u on the next update...

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang