Jam menunjukan pukul 12.30 malam. Lelaki bermanik coklat amber itu memutuskan bangkit dari kursinya, lalu beranjak keluar kamar meninggalkan laptop yang sedari tadi telah mendapat fokusnya selama berjam-jam lamanya.
Tangan sang kepala keluarga terangkat untuk memijit keningnya yang terasa berdenyut mungkin akibat terlalu lama menatap layar atau kurang tidur dan kelelahan. Ia beranjak berjalan menuju dapur untuk membuat kopi karena lagi-lagi Amato harus bergadang malam ini.
Namun baru saja sampai di meja makan, ia melihat sosok salah satu putranya sedang sibuk membuat sesuatu di atas kompor. Tentu saja Amato mengerutkan alis karena ini sudah terlalu larut untuk anak-anaknya masih terjaga apalagi malah masih memiliki kegiatan sampai sekarang.
"Ice?", panggilnya.
Remaja yang ia lihat menoleh saat mendengar ada suara di tengah keheningan. Bukannya menjawab, sosok itu malah memandang aneh pada Amato seperti menanyakan apa yang baru saja ia dengar.
"..ah maksud ayah, Blaze. Apa yang sedang kau lakukan?"
Barulah Amato sadar jika ia salah mengenali Blaze sebagai Ice. Mau bagaimana lagi? tinggi Ice dan Blaze sama, jadi jika dilihat dari belakang tanpa mengetahui warna mata mereka apalagi dalam kondisi Amato yang sudah mengantuk berat seperti ini, bisa saja ia salah mengenali putranya sendiri.
Blaze tak menjawab. Ia melanjutkan kegiatannya membuka bungkus mi instan saat air yang ia panaskan sudah mendidih tanpa ambil pusing oleh kehadiran sang ayah.
Rasa kesal terhadap perlakuan Amato tadi siang membuatnya bersikap lebih dingin kali ini, ia bahkan tidak sadar jika Amato semakin mendekat lalu dengan sigap memegang tangannya yang hendak menaruh mi di panci kecil yang ia gunakan.
"Jangan makan mi instan, tidak baik untuk kesehatanmu", peringat lelaki itu seraya mengambil bungkusan makanan cepat saji ditangan sang anak lalu menaruhnya disebelah wastafel.
Tak lupa Amato juga mematikan kompor hingga raut wajah Blaze terlihat kesal karena kegiatannya yang dihentikan.
"Berikan mi itu padaku! bukan urusanmu aku mau makan apa", ketus Blaze. Hendak meraih kembali mi yang sang ayah taruh namun lagi-lagi Amato menjauhkannya.
"Kau bisa makan apa saja tapi bukan mi instan. Kau duduklah, biar ayah yang masak"
"Tidak perlu. Tidak usah sok peduli padaku", jawab Blaze. Menatap tajam pada lelaki dihadapannya.
Namun Amato tidak marah dengan sikap Blaze, iapun mulai terbiasa mendapat sikap seperti itu disaat memang hanya dirinya dan sang putra keempat sedang berdua saja. Ditambah ia sudah menghukum Blaze dan adik-adiknya tadi siang, hal normal jika pemilik manik oranye itu masih marah padanya.
Terdengar helaan nafas pelan, "..kau tunggu sebentar saja. Makanannya akan cepat jadi"
"Tidak usah", jawab Blaze ketus seraya menaiki tangga dengan kesal.
Ia bahkan tak memikirkan jika ia akan kelaparan malam ini karena tidak makan siang dan juga tidak turun makan malam tadi, tapi sebutlah karena marah jadi Blaze memutuskan untuk naik meninggalkan Amato menatapnya hingga menghilang di balik pintu kamar.
Sementara di bawah, Amato menghela nafas kasar.
"Kapan anakmu ini bisa berubah, Van?"
"Serba salah aku menghadapi anak itu", keluhnya seraya mengambil wajan dari lemari bawah lalu menuangkan minyak sebelum ia menghidupkan kompor.
Tak lupa Amato juga memotong beberapa bumbu dan ia tumis, kemudian lelaki bermanik coklat amber itu memasukkan sepiring nasi dari rice cooker untuk akhirnya ia aduk sampai aroma harum memenuhi dapur rumahnya.
Setelah itu, ia kembali mewadahi nasi goreng buatannya di piring makan dan mengambil segelas air. Lalu tak perlu ditanya untuk siapa makanan itu diberikan, ia beranjak naik tangga sampai di depan pintu pertama di sebelah kiri tangga.
Menggunakan sikunya, pintu sang putra terbuka hingga menampakan Blaze yang tidur membelakanginya dan Ice yang memeluk bantal guling warna biru dengan gambar paus.
Amato tersenyum tipis, lalu menaruh makanan dan air yang ia bawa di salah satu meja belajar sebelum melangkahkan kaki menuju si pemilik manik oranye. Lelaki itu menggoyang bahu Blaze pelan lalu berbisik.
"Blaze, ayah taruh makanan di meja belajar. Kau makan ya", ucapnya. Ia tau jika Blaze mendengar bisikannya namun remaja itu tidak bergerak ataupun menjawab, lagi-lagi Amato tersenyum lalu melangkah pergi dari kamar Blaze dan Ice.
Diluar kamar, Amato baru ingat jika tadi ia ingin membuat kopi karena Sensasi kepala berdenyut baru ia rasakan lagi setelah menuruni tangga. Jadi ia kembali ke dapur dan memanaskan air yang hendak Blaze gunakan untuk membuat mi beberapa menit lalu.
Setelah selesai barulah ia mematikan lampu dan pergi kekamar karena masih ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan malam ini.
.
.
.
Beberapa saat setelah pintu itu tertutup, barulah Blaze menoleh dan langsung mendapati makanan yang masih mengepulkan sedikit asap di meja belajarnya. Aroma wangi nasi goreng langsung membuat perutnya berbunyi lagi akibat rasa lapar dari tadi siang.
Tentu saja karena gengsi jadi ia kembali mecoba tidur, mengabaikan makanan dimeja yang jika saja bisa bicara mungkin mereka sedang memanggil-manggil nama Blaze agar segera memakannya.
Bagaimanapun lama-kelamaan pemilik manik oranye itu tidak tahan juga, apalagi tadi dia turun ke bawah memang berniat mengganjal perut dengan mi tapi malah dicegah oleh Amato. Jadi kini ia menoleh lagi.
Kakak sulung dari empat adik-adiknya itu terduduk lalu berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia memutuskan bangkit dan duduk di meja belajar. Dinyalakannya lampu kecil yang berdiri agar bisa meneranginya tanpa mengganggu tidur Ice sebelum ia mendekatkan piring dan gelas kehadapannya. Tidak ada pilihan, perutnya sudah sangat lapar dan makanan itu begitu menggoda untuk dimakan.
Sudah terlanjur dibuat, lagipula kan aku tidak minta dia masak. Batin Blaze. Meraih gelas berisi air dan meminumnya sedikit, lalu meraih sendok juga garpu dan memulai memakan nasi goreng buatan sang ayah.
Ia sedikit terkejut karena rasanya, karena itu Blaze mengunyah pelan sebelum menyendok suapan kedua, lalu ketiga, keempat dan seterusnya.
Dia tidak akan mengakuinya, tapi nasi goreng buatan Amato benar-benar enak bahkan lebih enak dari buatan sang Ibu sekalipun. Jadi ia mengunyah dengan semangat makanan itu tanpa berkata apapun sampai habis tak tersisa.
.
.
.
Author's Note
Ada yang tau gimana caranya biar bapak dan anak ini bisa akur guys?
Jadi gimana juga nih pendapat kalian tentang chapter ini? apakah pada akhirnya Blaze akan menerima Amato?
Lets see, semoga menghibur ya dan semoga kalian sehat selalu...
So atas perhatian kalian, see u on the next up:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause We are Family
FanfikceHubungan persaudaraan. Hal yang kompleks penuh hamparan emosi. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tak saling mengenal bahkan tak tau sedang menghirup udara yang sama. Namun waktu seakan mengikis semua keasingan walau dibayar dengan makin rumitnya keh...