Pemuda bermanik oranye itu menoleh saat pintu terbuka dari luar, menampakan orang yang sebisa mungkin ia hindari sedari tadi ia memasuki kamar barunya.
Sosok sang sulung hanya melangkah tanpa mengatakan apapun dengan ekspresi super dingin miliknya, Blazepun terdiam melihat itu. Tak ada keinginan untuk bertegur sapa layaknya seorang saudara, justru, kehadiran masing-masing menambah atmosfir tidak mengenakan antara mereka.
Hali langsung memasuki kamar mandi, tak lama dan terdengar suara keran tanda pemilik manik ruby itu sedang mandi dibawah shower sana.
Sementara Blaze mendelik tajam, Kembali membereskan barang-barangnya tanpa peduli atau berkomentar. Bukan seperti dirinya.
Jika saja bukan karena Elia yang dengan sabar dan sepenuh hati meminta Blaze untuk mau menerima keputusan ayah mereka, sudah pasti Blaze tidak akan menginjakkan kakinya ditempat itu. Tapi apa daya? kasih sayang Blaze pada Ibunya membuat Blaze berada ditempat ini sekarang.
Beberapa menit kemudian, Hali keluar dari kamar mandi seraya mengeringkan rambutnya yang basah menggunakan handuk.
Keheningan antara dua sulung yang sama-sama memiliki ego kini terasa begitu menegangkan. Bahkan nafas yang tak sengaja berhembus lebih keras saja terdengar jelas terpantul oleh dinding kamar walau sudah dibarengi desingan pelan dari pendingin Udara.
Hali menatap tajam punggung Blaze di sebrang tempat tidur sana, rasa benci hanya dengan berada di ruangan yang sama membuat Hali geram. Berbeda dengan Blaze yang fokus pada barangnya, pikiran Hali terlalu berantakan saat ini hingga apapun yang Blaze lakukan terlihat salah dimatanya.
Ia menaruh kasar gelas yang entah sejak kapan ia raih dimeja, menimbulkan suara nyaring sampai Blaze langsung buyar dari kegiatannya. Namun ia tidak menoleh sama sekali.
"Aku tidak suka keributan, benci ketidakrapian, dan benci pada orang sembarangan." Ucap Hali dinging penuh penekanan.
"Tau diri kalau kau hanya menumpang disini. Dasar orang asing..", ucap Hali lagi, sinis. Benar-benar definisi seorang Halilintar yang bermulut tajam.
Blaze menoleh, manik oranyenya yang menyala dibawah sinar lampu menatap tajam manik sang kakak. "..siapa kau berani memerintahku?", tanyanya tak kalah dingin.
"Siapa aku? apa perlu aku jelaskan perbedaan statusku dan statusmu?"
Secara refleks kaki Hali melangkah maju mendekati Blaze, namun Blaze tak gentar sama sekali melihat itu. Ia hanya terdiam mendengar ucapan Hali selanjutnya,
"Aku adalah putra resmi di kelurga ini. Aku anak ayah yang sebenarnya, bukan sepertimu"
Jarak mereka terpaut dua Langkah, Hali berhenti. Merasa apapun ucapannya hanya akan didengar oleh Blaze dan cukup tenang sampai tidak menimbulkan kecurigaan dari luar.
"Kau dan saudaramu bukan siapa-siapa disini..hanya sekelompok pendatang yang mencoba merusak kehidupan kami, jadi, kau pasti tau kan apa artinya tahu diri?", sinis pemuda itu. Pandangannya mendeterminasi, seakan ia sedang berbicara dengan musuh.
Aneh. Entah kenapa, Blaze terdiam. Karena walau bagaimanapun, Ia dan keluarganya memang bukan penghuni asli di rumah itu. Dan entah kenapa, ia kesal akan fakta yang keluar dari mulut tajam sang sulung bermanik ruby.
Hali tak tinggal diam, lisannya terlalu tidak sabar mengungkapkan apa yang mengganjal dikepalanya. "Kenapa diam? benar kan kataku? kau dan saudaramu, sampai kapanpun tidak bisa mengubah status kalian menjadi bagian dari kami, apalagi menganggap kalian cukup pantas menjadi keluarga kami disini. Kau dan Ibu--"
"Jangan menghina Ibuku!!"
Ucapan Hali terputus saat Blaze bangkit dan mencengkram erat kerah bajunya, mendorong Hali hingga terpojok di tembok kamar. Bagaikan Api yang disiram bensin, mata Blaze memancarkan amarah yang besar pada orang dihadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cause We are Family
FanfictionHubungan persaudaraan. Hal yang kompleks penuh hamparan emosi. Awalnya mereka bukan siapa-siapa, tak saling mengenal bahkan tak tau sedang menghirup udara yang sama. Namun waktu seakan mengikis semua keasingan walau dibayar dengan makin rumitnya keh...