Ketakutan

1.4K 207 33
                                    

Baru saja pintu itu terbuka, pemandangan sang putra yang terlelap membelakanginya sudah nampak di manik hazel yang teduh. Ia terdiam, menatap bagaimana sosok Taufan ditempat tidurnya.

Tak biasa jika pemilik manik safir itu menggunakan celana pendek, bisa dibilang jarang sekali dan hanya jika tidak ada pilihan. Seperti saat kakinya dipenuhi luka bekas rotan seperti ini.

Elia melangkah mendekati sang putra tanpa menimbulkan suara yang begitu berarti dari langkahnya. Semakin dekat, rasanya dia semakin merasa bersalah atas apa yang telah terjadi. Ia tak menyangka jika emosi Amato bisa sampai meledak sampai berakibat buruk pada Taufan.

Helaan nafas terdengar saat akhirnya Elia melihat tangan Taufan yang terluka sedang menumpu kepalanya, sepertinya luka-luka itu sempat mengeluarkan darah ringan walau kini sudah berhenti. Elia tau betul itu terasa perih jika Taufan sudah bangun nanti.

Baru saja ia mendudukkan diri di kursi yang ia dekatkan, tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka, membuatnya menoleh karena ia pikir tak ada orang dikamar ini selain putra keduanya.

"Ice". Yang dipanggil hanya diam, menaruh handuknya di kursi belajarnya.

Elia tersenyum, "Ibu pikir kau dan Gempa sedang keluar. Maaf ya Ibu masuk tanpa izin kalian", ucapnya. Terpaut pada Ice yang berekspresi datar mendekat ke arah tempat tidurnya yang bersebelahan dengan sang kakak.

"Aku baru selesai mandi. Tidak ada kegiatan tambahan di sekolah, aku mau tidur setelah ini"

Sang Ibu mengangguk, "Kau tidur siang dulu ya. Pasti kau lelah. Setelah Ibu selesai Ibu juga akan pergi kok, tidak akan menganggumu"

Ice tak menjawab. Sementara Elia kini membuka laci paling bawah yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk, lalu mengambil sebuah kotak P3K dari sana.

Setelah itu, menggunakan kapas, alkohol dan obat merah, Elia dengan telaten mengobati kaki Taufan agar segera sembuh dan tidak membekas.

Ice hanya memperhatikan kegiatan ibunya itu seraya dirinya berdiri mengamati hingga keheningan menyelimuti mereka. Berselang sekitar 10 menit, kini Elia berpindah pada tangan Taufan. Ia kembali membaluri kapas dengan alkohol lalu mengusapkannya ke area telapak tangan sang putra.

Mungkin karena kelelahan, Taufan tak bangun atau meringis, tentu berbanding terbalik dengan reaksinya jika diobati dalam keadaan sadar. Bekas air mata masih terlihat dipipinya yang pucat, mungkin juga Taufan kelelahan karena menangis.

"Taufan diapakan oleh ayah?". Sebuah suara dari putra keduanya terdengar hingga sempat menghentikan kegiatan wanita berparas lembut itu, ia tertegun, sebelum melanjutkan kegiatannya.

"Sejak aku pindah ke kamar ini, sudah tiga kali aku melihat Taufan menangis. Memangnya apa yang dia lakukan sampai ayah selalu menghukumnya?"

Elia tersenyum kecil. Namun tersirat ketidakberdayaan dari pandangannya itu, "Ayah pasti punya alasan. Ia peduli pada Taufan, karena itu ayah menghukumnya saat Taufan berbuat kesalahan".

"Tapi bukan seperti ini caranya memberitahu Taufan. Apapun kesalahannya bukankah seharusnya ayah memperingatkan dia saja? tidak perlu sampai melukainya seperti ini, lagipula Taufan sudah besar dan kurasa dia akan mengerti jika diajak bicara baik-baik", ucap Ice.

Ice tau betul hubungan kubu saudaranya dan saudara Hali sedang tidak baik. Tapi tetap saja, melihat bagaimana Taufan menangis sesenggukan seperti tadi benar-benar membuat sisi kemanusiaannya muncul. Lagi, bukan pertama kali ia melihat Taufan datang dengan berurai air mata, bahkan sampai mengunci diri dikamar mandi sampai ia lelah menangis.

Bagaimana mungkin seorang ayah bisa menyiksa putranya sendiri seperti itu? perlahan, Ice bahkan melihat Amato semakin jauh dari espektasinya.

Dulu mungkin lelaki itu masih dapat diterima , namun setelah melihat berbagai macam aturan ketat dirumah ini untuk mereka, ditambah perlakuannya pada Taufan yang walau bersifat pribadi, Ice mulai mengubah pandangannya.

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang