Restu

2K 231 19
                                    

Amato mengerutkan alis saat mendengar pengakuan kedua putra tertuanya itu. Namun walau begitu, ia berusaha tetap terlihat tenang apalagi memang ia sering diberitahu oleh Elia dulu tentang bagaimana kondisi anak keenamnya.

Hali dan Taufanpun terdiam, menunggu jawaban sang ayah.

"Apakah Solar terluka?", tanya Amato akhirnya. Nada serius terdengar dari Lelaki itu saat maniknya bertaut pada manik safir dan ruby.

"Kali ini hanya memar sih, Solar terkena flu juga", ucap Taufan. Tak jauh berbeda dari ekspresi yang sang ayah buat, iapun tengah serius kali ini.

Amato mengangguk, "Lalu apa Thorn sudah kembali seperti semula?"

"Ya, saat makan malam dia sudah berubah normal dan bertingkah seakan tidak terjadi apapun", lapor Hali.

Sebuah helaan nafas terdengar dari sang ayah, ditatapnya kedua remaja itu lekat seraya keheningan tercipta antara mereka.

"...maaf. Ayah jadi menyusahkan kalian", ucap Amato lembut. Tersirat rasa bersalah dari kalimatnya.

"Ayolah, ayah tidak usah minta maaf. Kami bisa jaga diri kok, lagipula kata Solar kalau dia tidak sedang stress dia akan jarang berubah", ucap Taufan menenangkan.

Hali mengangguk, "Ini bukan salah ayah. Kelainan itu sudah dia alami sebelum bertemu kita"

Seutas senyum tipis terukir di wajah Amato atas pengertian putra-putranya, "Terima kasih Hali, Taufan. Ayah akan mencari waktu untuk mengajak Thorn ke psikiater agar dia bisa diterapi untuk kesembuhannya"

"Ya, kurasa itu ide bagus", tanggap Hali disusul anggukan setuju dari sang adik.

_________________

Jam menunjukan pukul 2 pagi. Diruang tamu, Amato terduduk sedikit gelisah menunggu kedatangan salah satu putranya, Blaze.

Walaupun Ice sudah memberitahunya jika Blaze sudah biasa pergi sampai pagi karena menginap di rumah teman, tetap saja Amato tidak tenang untuk beranjak tidur begitu saja. Belum ada kabar dari pemilik manik oranye itu sejak terakhir mereka bercakap lewat telpon jam 8 malam tadi.

Kembali manik coklat amber lelaki itu menoleh pada jam dinding untuk kesekian kalinya, menghela nafas sebelum mengambil ponsel bercasing hitam dan mendial nomor sang anak.

Namun tak terduga suara dering pelan terdengar dari luar pintu, sedetik kemudian pintu terbuka menampakan Blaze yang langsung memeriksa tasnya untuk mengecek ponsel hingga tak menyadari kehadiran sang ayah di ruang tamu.

"Blaze", panggil Amato setelah mematikan panggilan teleponnya saat melihat Blaze sudah kembali.

Pemilik manik oranye menoleh, "Ayah belum tidur?"

Ada sedikit keheningan, tatapan tak terbaca mengarah pada Blaze namun ia belum menyadarinya. Dengan santai saudara Keempat itu mengecek ponsel yang tadinya berdering dan mendapatkan jika sang ayahlah yang menelpon.

"Ayah menelponku ya? kan sudah aku bilang akan pulang terlambat", ucap Blaze seraya melepas sepatu dan menaruhnya di rak sepatu di sebelah pintu masuk.

"Kesini Blaze". Sang anak kebetulan memang sudah masuk lalu mendekat padanya.

Amato bangkit saat Blaze sudah berada dihadapannya, sebuah tas punggung bertengger di sebelah bahu Blaze tak ia taruh karena ia kira bisa segera naik ke kamar dan tidur.

"Darimana?", tanya Amato memulai percakapan.

"Dari kerja kelompok di rumah teman, tadi aku jalan kaki untuk mencari sesuatu"

Cause We are FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang