Suasana malam itu begitu bercahaya dengan lampu-lampunya yang gilang-gemilang menerangi gang kecil di Desa Cempaka.
Di tengah gemerlapnya Desa Cempaka, rumah milik keluarga Wira terlihat terang oleh cahaya lampu dan rembulan yang menerangi malam itu. Rumah kecil itu hanya ditempati oleh Wira dan kedua wanita yang ia cintai.
Walaupun hidup dengan tidak bergelimang harta seperti sahabat dan teman-temannya yang lain, tetapi Wira selalu mendapatkan kasih sayang dari Ibu dan Neneknya, itu saja sudah cukup baginya. Wira bukanlah anak yang suka menuntut ini itu kepada keluarganya. Wira sangat tahu betapa susahnya mencari uang, betapa kerasnya dunia kepada orang miskin seperti dirinya. Maka dari itu, di saat pulang sekolah maupun hari libur, ia pasti membantu pekerjaan Ibu dan Neneknya di sawah.
Jika di luar, orang-orang menganggap Wira sebagai anak nakal dan tidak terdidik, tetapi tidak di desanya. Di Desa Cempaka, Wira dikenal sebagai anak yang selalu berbakti kepada orang tuanya. Walau, tatapan Wira terkadang membuat orang salah paham. Pria itu memang tidak pandai mengekspresikan perasaannya kepada orang lain.
Wira telah kehilangan sang Ayah sejak berusia 10 tahun. Ayahnya Wira meninggal setelah berjuang melawan penyakitnya. Saat itu, sang Ayah mengidap gagal ginjal kronis bersamaan dengan keadaan ekonomi keluarga yang sangat tidak baik pasca gagal panen.
Wira yang masih kecil hanya melihat kedua orang tuanya dan Neneknya yang menangis. Saat itu, ia tahu jika Ayahnya sedang sakit, tetapi ia tidak tahu mengapa semua orang menangis. Yang bisa ia lakukan adalah berlari menuju rumah sahabatnya dan meminta tolong kepada Ayah dari sahabatnya itu.
Sejak saat itu, Ayahnya Ajay lah yang membiayai seluruh pengobatannya, tetapi, karena tidak ingin terus-menerus merepotkan sahabatnya, Ayahnya Wira memilih untuk berhenti menjalani pengobatan cuci darah, yang membuat keadaanya semakin buruk dan berakhir kehilangan nyawanya.
"Sudah, Wira. Ambu mau menyiapkan makan malam."
Wira terlihat sedang memijat kaki Ibunya. "Tunggu sebentar, Ambu."
Ia sudah biasa memijat kaki ataupun tangan Ibu dan Neneknya. Selama ini, Wira melakukan tugas sebagai seorang anak dan cucu yang berbakti kepada keluarganya. Tidak ada yang benar-benar bisa mengenal kepribadiannya kecuali orang terdekatnya. Kelakuan pria itu sangatlah berbeda jika sedang di rumah dan di sekolah.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam, Ambu Sari pun bangkit dari duduknya dan beranjak menuju dapur. Lalu, Wira memijat tangan Nek Esih.
"Cucu Nenek ini pintar sekali mijatnya."
Wira menampilkan deretan gigi putihnya begitu mendengar ucapan sang Nenek. Tapi, sedetik kemudian ekspresinya berubah mendengar ucapan Ibunya. Ia lantas mengubah posisinya menjadi duduk.
"Wira, kamu tidak punya pacar? Itu, anaknya Mak Irah sudah punya pacar tahu."
Wira menghela nafasnya ketika mendengar kalimat Ibunya. "Wira udah berulang kali bilang ke Ambu, kalau Wira gak mau pacaran. Wira mau bantuin Ambu dan Nenek cari uang."
"Nikmati masa muda kamu, Wira. Jangan pikirkan soal uang. Ada Ambu yang bisa mencari uang. Itu sudah menjadi tugas Ambu sebagai Ibu kamu, kamu hanya pikirkan saja sekolah dan masa muda kamu."
"Tapi, Ambu, Wira sebagai laki-laki di keluarga ini seharusnya membantu Ambu dan Nenek. Wira gak ada waktu buat pacar-pacaran."
"Tidak ada waktu untuk pacaran, tapi punya banyak waktu untuk beranteman?" Ucap Ambu Sari sambil membawa lauk pauk ke ruang tengah, tepatnya meletakkan lauk tersebut di depan Wira.
Rumah sederhana itu tidak memiliki meja makan, keluarga Wira lebih memilih makan secara lesehan.
"Sudahlah, Ambu. Jangan bicarakan soal wanita lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Senja
Fantasy"Wira, kenapa suka Senja?" "Karena cantik." "Ih! bukan Senja aku, tapi itu, Senja di langit!" "Iya. Kalian sama-sama cantik. Aku suka." Mahawira Samudra, cowok berhati batu yang sama sekali tidak tertarik soal asmara. Wira terkenal sebagai jagoan da...