21. Itulah Hidup

21 6 0
                                    

"Ayah dengar akhir-akhir ini kamu jarang ada di rumah."

Mendengar itu, Senja tampak gugup. Ia menoleh ke Ibunya seakan bertanya. Namun, Ibunya justru mengedikkan bahunya.

"Mulai sekarang, Ayah tidak mengizinkan kamu keluar rumah lagi."

"Tapi, Yah--"

"Tidak ada bantahan, Senjani."

Senja mendengus kesal. Ia tidak berbicara lagi. Apapun keputusan Ayahnya itu sudahlah mutlak. Senja melengos begitu saja, meninggalkan makan malamnya yang belum habis.

"Jangan terlalu dikekang, Yah. Biarkan Senja bermain dengan teman-temannya," ucap Ibunya Senja, Delima.

Atensi Ayah Senja yang bernama Arsen itu menoleh ke istrinya. "Kamu pasti tahu kalau Senja berpacaran dengan anak miskin itu, iya kan?"

Kini, Delima yang terlihat gugup. Wanita paruh baya yang memiliki paras cantik itu mengalihkan kegugupannya dengan mengantarkan piring kotor ke dapur. Ia bahkan tidak menjawab pertanyaan sang suami

Ya.. Delima tahu itu. Delima ingat, bagaimana putrinya antusias menceritakan segalanya tentang Wira. Wajah berseri-seri Senjapun masih teringat di pikirannya. Putri satu-satunya itu sangat bahagia walau hanya bercerita tentang Wira. Namun, sekarang rasa kekhawatiran itu muncul setelah sang suami tahu segalanya.

"Saya tidak suka jika putri kita bergaul dengan anak desa. Apalagi sampai berpacaran dengan pria itu, saya tidak akan tinggal diam," ucapnya lagi kemudian beranjak pergi menuju ruang kerjanya.

Mengingat watak Arsen yang keras kepala, ia yakin jika suaminya itu akan melakukan apapun untuk memisahkan Senja. Delima hanya bisa menghela nafasnya. Membantah ucapan suaminya saja ia tidak bisa, bagaimana ia bisa melindungi putrinya?

***

"Bu... Izinin Senja main, ya."

Siang itu Senja terus meminta izin kepada Delima agar bisa keluar rumah. Sudah tiga hari Senja tidak bermain ke Desa Cempaka.

"Lagian Ayah juga kan lagi pergi. Senja janji sore udah ada di rumah," bujuk Senja sambil terus memegangi lengan Ibunya.

Delima pun menoleh ke arah Senja. "Untuk sekarang ini lebih baik kamu turuti kata Ayahmu, nanti --"

"Ibu nggak asik!"

Senja menghentakkan kakinya dan meninggalkan Delima di dapur.

"Ini demi kebaikan kamu, Nak."

Wajah gadis bertahi lalat di hidung itu cemberut. Ia kemudian masuk ke kamarnya. "Wira lagi ngapain, ya?"

Tubuhnya ada di rumah, tetapi pikiran Senja terus melayang ke Wira. Tidak betah bergulat dengan pikirannya sendiri, Senja pun merencanakan sesuatu.

"Kalo Ibu atau Ayah liat, pasti mereka ngiranya aku lagi tidur," ucapnya sambil menyusun bantal dan guling, lalu menutupi dengan selimut. "Senja kamu pinter banget hehe..."

Setelahnya ia diam-diam menyelinap ke luar rumah. Rencanapun berhasil. Senja berhasil keluar rumah dan bergegas menuju halte bus.

Tidak membutuhkan waktu yang lama sampai akhirnya bus itu membawanya ke Desa Cempaka. Dengan riang, Senja berlari menuju sawah.

"Samudra!"

Wira yang sedang menanam bibit padi pun menoleh ke sumber suara. Matanya menyipit, bibirnya melengkung, deretan giginya muncul ketika melihat pujaannya datang.

"Ai kamu kunaon ngos-ngosan begitu?" Tanya Wira sambil mengelap keringat Senja dengan anduk kecilnya.

"Pengen cepet ketemu kamu, soalnya kangen."

Lentera Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang