Malam itu suara jangkrik terdengar begitu jelas, hembusan angin seakan mampu menusuk tulang seorang pria yang sedang tiduran di teras, ia menatap langit yang tak berawan. Sinar rembulan malam itu sama seperti biasanya, sangat indah.
Pria itu sesekali tersenyum mengingat wajah yang akhir-akhir ini selalu hadir di pikirannya. Wajah seseorang yang sebulan ini selalu menganggu waktu tidurnya di kelas. Namun, sedetik kemudian ia menampar pipinya.
"Sadar, Wira! Kamu teh kenapa jadi mikirin cewek bawel itu? Ini nggak benar!" Wira menggelengkan kepalanya. "Lebih baik saya tidur daripada melamun nggak jelas kayak gini."
Wira pun bangun dan ingin beranjak ke dalam, namun tiba-tiba ia dikejutkan oleh Sari yang sudah berada di belakangnya.
"A-Ambu... Sejak kapan di situ?"
Ambu Sari terkekeh melihat reaksi anaknya, seperti anak kecil yang sedang kepergok habis mencuri permen.
"Sejak kamu senyum-senyum sendiri," balas Sari yang duduk di samping Wira. "Ada sesuatu yang buat Wira bahagia, ya?"
Skak mat!
Wira tidak tahu harus menjawab apa. Pasalnya, ia juga tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Ia mulai merasakan deg-degan jika berada di dekat Senjani. Tetapi mengapa? Apa alasannya? Wira juga tidak mengetahuinya. (Ceritanya si Wira tuh denial gaes hehe)
"Senja itu cantik sekali ya, Nak. Kelihatannya juga anaknya lugu," ucap Sari, lagi.
"Itu tidak seperti yang Ambu liat, Senjani itu anaknya nggak lugu, tapi bodoh."
Sari menghela nafasnya ketika mendengar kalimat putranya itu. "Wira, kamu teh jangan bicara sembarangan seperti itu, nanti kalau Senja dengar dia pasti sakit hati," ucapnya. "Tidak semua orang mengerti sifat kamu, dan tidak semua orang bisa menerima kata-kata yang menyinggung dirinya. Ambu teh tidak peduli apa kata orang lain, tapi Ambu hanya tidak ingin jika anak Ambu mendapatkan banyak musuh, dan ujung-ujungnya bertengkar lagi," lanjutnya sambil menggenggam telapak tangan Wira, tatapannya sendu, ada ke khawatiran yang terlihat ketika ia memberikan wejangan itu. Pasalnya Sari tahu benar kebiasaan anaknya yang selalu ikut tawuran, tak jarang pula Wira pulang dengan wajah yang sudah babak belur.
Wira membalas genggaman sang Ibu. "Iya. Maafin Wira, Ambu."
Sari menarik senyumannya. "Ya sudah, Ambu mau masuk ke dalam dulu," ucapnya yang kemudian berdiri dan beranjak masuk ke rumah.
Di tempatnya Wira masih terpikirkan kalimat Ibunya tadi. Bukan, kalimat wejangan yang ia pikirkan, tetapi....
"Kalo dilihat-lihat cewek bawel itu... memang cantik, sih."
Wira langsung menggelengkan kepalanya. Tidak ingin berlama-lama memikirkan Senja lagi, cowok itupun memilih untuk masuk ke rumah.
Di sisi lain, Senja sedang tiduran sambil memandangi plafon kamarnya. Gadis itu menggigit jempolnya, berusaha mengingat sesuatu. Rasanya ada yang mengganjal, tapi apa? Apa yang sudah Senja lupakan?
Satu menit berlalu, tiba-tiba Senja duduk. Ia sudah ingat apa yang sempat terlupakan. Ya, saat ia sedang diganggu kakak kelasnya, ia sempat berucap akan menjadikan kekasih jika yang menolongnya pria. Dan, satu detik kemudian gadis itu mengacak-acak rambutnya.
"Bagaimana ini? Karena Wira yang udah nolongin aku, berarti aku harus jadiin Wira kekasihku dong? Ah... Senjani kamu sudah gila!"
Selimut putih menjadi korban tendangan wanita bertahi lalat di hidung itu. Senja mengambil selimut yang tak berdosa itu, lalu kembali merebahkan tubuhnya, kali ini ia menutupi wajahnya dengan selimutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Senja
Fantasy"Wira, kenapa suka Senja?" "Karena cantik." "Ih! bukan Senja aku, tapi itu, Senja di langit!" "Iya. Kalian sama-sama cantik. Aku suka." Mahawira Samudra, cowok berhati batu yang sama sekali tidak tertarik soal asmara. Wira terkenal sebagai jagoan da...