28. Dibuat dengan Cinta

21 5 0
                                    

"Ada apa ini?" Tanya seseorang dari arah pintu.

Semua orang yang ada di perkarangan rumah itu kompak menoleh ke sumber suara. Arsen perlahan menghampiri mereka semua. Air mukanya berubah menjadi emosi ketika mengetahui siapa yang sudah membuat keributan.

"Berani sekali kalian muncul di hadapan saya!!" Gertaknya.

"Maaf, Pak. Saya hanya ingin membawa Senja pulang," ucap Wira masih dengan nada yang ramah.

"Pulang? Anak itu sudah tidak tinggal di sini lagi, dan saya sudah tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan dia!"

"Wahh... Emak tiri aja nggak sejahat itu," celetuk Junet yang tak habis pikir dengan Arsen.

"Diam kamu! Ini bukan urusan kamu."

Kinan menyikut perut pria betawi itu dan menyuruhnya diam ketika melihat amarah Arsen.

"Yah, kita bisa bicarakan baik-baik, kan? Lagian, Wira baik-baik bawa putri kita ke sini. Kamu sendiri tahu gimana sifat putri kamu, pasti Wira sudah bersusah payah untuk membujuk Senja," bujuk Delima yang memegangi lengan suaminya.

"Bicara baik- baik pakai hati, Paman, jangan pakai emosi."

Itu suara Ajay. Melihat Ajay di sana, semakin membuat pria paruh baya itu emosi.

"Kamu juga lebih baik diam! Karena kamu menolak perjodohan ini, semua rencana saya jadi hancur!!"

Semua teman-teman Senja ikut bicara, memberikan masukannya agar hati ayah temannya itu luluh, termasuk Pita yang berkata, "Senjani putri Paman satu-satunya. Bagaimana bisa seorang Ayah tega seperti ini? Apa Paman dan Bibi nggak bisa melihat kebahagiaan putri kalian?"

Arsen menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya secara perlahan. Sebenarnya hatinya juga tidak setega itu, tapi ia sudah terlanjur kecewa dengan keputusan putrinya yang lebih memilih orang lain dibandingkan ayahnya sendiri.

"Yah... Aku mohon restui hubungan aku dan Samudra. Samudra anak baik-baik, Yah. Selama ini dia yang selalu ngejagain aku. Dan, aku juga--"

Kalimat Senja itu terhenti ketika Arsen mulai mengeluarkan suaranya.

"PERGI!"

"Saya sudah bilang kamu bukan putri saya lagi, dan kamu sudah tidak ada hak untuk berada di sini. Jadi, sekarang kamu pergi dari sini!!!" Ujar Arsen dengan rahang yang mengeras.

"Anak tidak tahu terima kasih! Saya sudah membesarkan kamu dengan harta yang berlimpah, saya sudah memberikan kasih sayang pada kamu, tapi kamu balas semua itu dengan sebuah penghinaan."

"Saya bahkan sekarang sudah muak melihat wajah kamu!"

Jleb!

Kalimat terakhir ayahnya itu berhasil membuat Senja meneteskan air matanya. Kalimat itu menancap ulu hatinya. Sudah, Senja sudah tidak kuat lagi berada di situ. Gadis itu tertunduk dan menarik ujung baju Wira.

Wira menyadari jika kekasihnya sudah tidak baik-baik saja. Ia memegang telapak tangan Senjani, menggandengnya dengan erat. Tatapan pria itu penuh kecewa terhadap kedua orang tua kekasihnya.

"Jadi, bapak dan ibu teh nggak mau nerima Senjani? Baiklah, kalau seperti itu biar saya yang bertanggung jawab dengan hidup Senjani. Saya sendiri yang akan membahagiakan dia, saya yang akan membiayai semua kebutuhan Senjani," ucap Wira dengan suara yang lantang.

Arsen tersenyum remeh mendengar kalimat Wira. "Silahkan. Kamu nggak akan sanggup membiayai anak itu. Dia sudah terbiasa hidup mewah."

Kali ini, Wira yang tersenyum. Tidak, lebih tepatnya menyeringai. "Kita buktikan saja, Tuan Arsen yang terhormat."

Lentera Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang