25. Tidak Ada Kata Terlambat

34 5 0
                                    

"Tidak ada yang jahat, hanya saja semesta senang mempermainkan kalian."

***

Citttttt

Brukkkkk!

Dalam sekejap, sebuah mobil menambrak motor yang berlawanan arah dan pergi begitu saja. Wira pun menghentikan motornya. Ia mendekati kerumunan itu, matanya membelalak ketika melihat korban dari tabrak lari tersebut.

"Dia kan--"

"Kamu kenal dengan korban, Dek?"

"Iya, Pak. Tolong hubungi ambulans."

"Baik."

Sambil menunggu ambulans, di tengah guyuran hujan, Wira mengecek nafas wanita yang tergeletak di jalanan itu. Dia pun melakukan CPR, dan tidak membutuhkan waktu yang lama sampai ambulance tiba.

"Denyutnya ada, tapi lemah," ucap Wira kepada petugas medis.

"Kamu bisa ikut ke rumah sakit?"

"Tentu."

Beberapa jam kemudian, Wira pulang. Ia melihat motor miliknya sudah terpakir di halaman rumahnya.

"Wira!"

Sari menjatuhkan piring yang ia bawa dan segera mendekati Wira. Pakaian pria itu sudah kotor dengan noda merah.

"Kamu kenapa? Kenapa baju kamu berlumuran darah seperti ini?" Panik Sari.

"Ambu, tenang dulu."

Sari masih menelisik keadaan putranya, tanpa mendengarkan apapun yang keluar dari mulut Wira, sampai akhirnya Wira memegangi tangan Ibunya itu.

"Wira teh nggak kenapa-napa. Tadi, Wira nolongin teman yang ditabrak lari, dan ini darah dia, bukan darah Wira."

Seketika itu, Sari menjatuhkan tubuhnya. Pikirannya terlalu negatif. Akhir-akhir ini ia sangat memikirkan putranya itu. Ia merasa akan berada jauh dari putra semata wayangnya.

Wira pun membantu Ambunya berdiri. "Ambu istirahat aja. Pecahan piringnya biar Wira yang beresin."

Sari menganggukkan kepalanya dan beranjak menuju kamarnya. Pria bermata sipit itu melepaskan baju sekolahnya yang sudah kotor, dan mulai membersihkan lantai. Setelah selesai, Wira membereskan rumahnya.

Kemudian, Wira memasak. Pria itu sangat lihai menggunakan pisaunya. Wira hanya memasak tumisan sawi, tempe dan tahu goreng saja. Setelahnya, ia menyisihkan lauk dan nasi yang dimasukkan ke rantang.

"Ambu, Wira ke sawah dulu," ucapnya sambil membawa rantang.

"Iya, Nak."

Wira pun berjalan menuju sawah. Ia melihat lapangan desa yang sudah dipenuhi para warga.

"Mau ke sawah, Wir? Tumben, sore? Baru pulang sekolah?"

"Iya, baru pulang. Punten, Mang,"
*Punten: permisi

"Mangga."
*Mangga: silakan

Wira meneruskan langkahnya sampai akhirnya ia tiba di sawah milik keluarganya. Wira melihat Nek Esih yang sedang beristirahat di saungnya.

Usia Nek Esih terbilang belum tua, karena pada saat itu Nek Esih menikah muda. Sejak putranya meninggal dunia, ia ikut mencari nafkah. Nek Esih tidak ingin memberatkan menantunya, oleh karena itu tidak hanya bertani saja, Nek Esih pun pernah berjualan di pasar, namun sekarang sudah tidak berjualan lagi karena Sari melarangnya.

"Nenek!"

Nek Esih melambaikan tangannya, senyumannya terukir di wajahnya menatap sang cucu yang semakin dekat.

Lentera Senja Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang