Wanda tiba di rumahnya setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam. Tak lupa ia mengabari Rafael yang telah memberikannya sejumlah uang untuk ongkosnya pulang. Suasana di rumah Wanda tidak terlalu ramai, mobil ayahnya tidak terparkir di garasi sedangkan pintu rumahnya tertutup sempurna. Wanda memasuki rumah tanpa mengucapkan salam, ia bahkan hampir membanting pintu rumah secara emosional.
Chandra tidak sengaja menyambutnya di ruang tamu. Lelaki itu hanya memainkan ponselnya sambil memakan makanan ringan. "Kok sudah pulang, Mbak? Bukannya kau bilang kau akan pulang sekitar dua atau tiga hari lagi?" lelaki itu menghentikan aktivitasnya dan beralih memindai kakanya yang auranya terlihat agak muram.
"Temanku yang satu-satunya bisa menyetir mobil ada acara dadakan. Jadi mau tidak mau kita semua harus pulang hari ini." Jawab gadis itu acuh. Sedangkan Chandra hanya menganggukkan kepalanya pelan dan kembali memainkan ponselnya
Ketika ia hendak memasuki kamarnya, ia dikejutkan oleh adik terkecilnya. "Mbak, mana oleh-olehnya? Mbak kan janji mau bawain aku bakpao telo*." Ucap sang adik penuh harap.
"Oleh-oleh apa, sih?" Wanda menghardik adiknya. "Aku tak sempat membelinya. Sekarang minggir dari jalanku!" Ia mendorong adiknya sedikit kasar hingga gadis kecil itu tersungkur ke lantai. Wanda tidak memedulikan suara tangisan adiknya yang mulai pecah akibat perbuatannya. Ia lanjut membanting pintu kamarnya hingga menimbulkan suara debuman.
Sudah tidak ada yang ia pedulikan saat ini.
Wanda langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia berharap ia dapat terlelap dan ketika ia bangun nanti ia akan melupakan semua kejadian semalam. Namun, yang ia rasakan hanyalah memori nan bising yang berlalu lalang di otaknya. Suara teriakan, tepuk tangan, serta desahan bersatu menyebabkan visi yang tumpang tindih, bahkan ketika gadis itu menutup matanya.
Tidak tahan dengan semua penglihatan tersebut, Wanda bangkit kemudian mengacak semua benda yang tersusun rapi di nakasnya sambil berteriak. "Aku tidak seharusnya melakukan itu!" secara tak sadar matanya kembali mengeluarkan air mata. Ia menangis lagi di lantai beralaskan selimut, menyesali betapa bodohnya perbuatannya semalam. Bagaimana bisa ia sebodoh itu percaya dengan ucapan wanita aneh yang mengatakan minum alkohol akan menghapus semua stresnya kemudian bercinta dengan lelaki yang jelas-jelas sudah mempunyai calon istri.
Sudah berapa perempuan yang ditiduri oleh Eza selama ini? Rasanya menyesakkan jika berpikir tentang hal ini. Kehormatannya sebagai wanita direnggut oleh pria yang diyakininya sudah pernah meniduri beberapa wanita. "Not my first kiss and my virginity, please." Wanda mengigit selimutnya hingga suara tangisannya teredam. Ia tahu salah satu dari adiknya berusaha memasuki kamarnya.
Namun, di sisi lain, ia juga merasakan kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tak dapat dipungkiri ia ingin melakukannya lagi, entah dengan siapa. Oh bagus, sekarang dirinya seolah memiliki dua kepribadian: wanita baik dan wanita jalang sekaligus.
Mungkin saat ini ia menuai karma atas apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Akibat ambisinya memperoleh pekerjaan sampingan, Wanda tega menjebloskan teman sekolahnya ke penjara hingga ia berakhir tragis di dalam jeruji. Untuk mencegah karma yang akan terjadi kedepannya, Wanda menuliskan surel kepada Om Sud. Surel tersebut berisikan surat pengunduran diri dari pekerjaan sampingannya dengan alasan ia tidak bisa membagi waktu antara pekerjaan dengan kuliahnya sehingga nilainya terjun bebas semester ini.
Yeah, dia berbohong lagi untuk menutupi kebohongannya yang lain.
***
Chandra mencoba menenangkan adiknya yang menangis akibat ulah Wanda. Lelaki itu menjelaskan kepada adiknya bahwa kakak mereka tidak sempat membelikan oleh-oleh karena terpaksa harus pulang mendadak sebab sang supir harus pulang secepatnya. Perlahan tetapi pasti, tangisan Devina mulai mereda karena Chandra berjanji akan membelikan gadis kecil itu es krim nanti sore.
Chandra bersyukur orang tuanya sedang tidak di rumah melihat drama pertengkaran ini. Di sisi lain, ia mendengar suara teriakan dari kamar Wanda. Ia bergegas menghampiri kamar kakaknya dan berusaha membuka pintu kamar. Namun, sayangnya pintunya terkunci rapat. Jika kondisinya seperti ini, Chandra tidak yakin kakaknya akan membukakan pintu untuknya. Jadi ia hanya berdiri di depan pintu sambil mencuri dengar apa yang terjadi di dalam kamar.
Hening, tidak terdengar suara apapun. Chandra berasumsi mungkin kakaknya mengalami mimpi buruk. Namun, ia tidak sebodoh itu. Ia bergegas ke kamarnya kemudian menelepon salah satu orang yang mengenal kakaknya. "Halo?" Chandra mengawali percakapan.
Tidak ada jawaban. Sepertinya orang yang dituju enggan menanggapi Chandra. "Halo, Kak Selin. Ini aku, Chandra, adiknya Kak Wanda." Akhirnya ia mengenalkan diri.
"Dari mana kau mendapatkan nomorku?"
"Dari daftar kontak di ponsel Kak Wanda."
"Oh. Ada apa?"
"Aku ingin bertanya, apa Kak Selin tahu sesuatu tentang kakakku?"
"Memangnya dia kenapa?"
"Ada yang aneh dari dirinya sejak pulang menginap dengan teman-temannya. Dia berubah menjadi temperamental dan tadi aku mendengarnya berteriak cukup keras dari kamarnya. Tidak biasanya ia bersikap seperti itu."
"Well, Chandra, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kakakmu karena selama ia berlibur dengan teman-temannya ia tidak menghubungiku sama sekali. Namun, aku punya beberapa saran untukmu. Jika kau bisa mendapatkan kontakku, seharusnya kau juga bisa mendapatkan kontak teman kakakmu yang berlibur dengannya. Kau bisa bertanya kepada mereka apa yang terjadi dengan kakakmu."
"Maaf, kak, tetapi aku mengira Kak Wanda pergi menginap di villa denganmu."
"Sayangnya tidak."
"Baiklah, terima kasih ya, Kak Selin. Maaf jika aku mengganggu waktu kakak." Chandra menutup panggilan telepon.
Seketika ia teringat satu hal, whatsapp Wanda masih log in di perangkat laptopnya. Kini ia beralih menyalakan laptopnya dan meluncur ke aplikasi whatsapp. Sekadar informasi, Chandra lebih sering menautkan akun whatsapp-nya di whatsapp web ketimbang aplikasi.
Setelah semua obrolan diperbarui, lelaki itu menangkap satu nama teratas. Rafael. Tanpa pikir panjang, Chandra langsung membuka ruang obrolan antara kakaknya dengan pria bernama Rafael ini. Terlihat riwayat kakaknya melakukan panggilan sekitar 30 menit dengan lelaki itu. Chandra akhirnya menambahkan nomor Rafael ke dalam daftar kontaknya kemudian menelepon lelaki itu. "Halo, Kak Rafael. Aku Chandra, adiknya Kak Wanda..."
"Ada apa, ya?"
"Aku ingin bertanya kak, karena kakak sepertinya orang terakhir yang dihubungi oleh kakakku. Apakah kakak tahu sesuatu tentang kakakku?"
"Maksudnya?"
"Dia bertingkah aneh sejak pulang menginap dengan teman-temannya."
"Dia... sedang ada masalah, yang, yeah, sebenarnya hanya perlu diketahui oleh orang dewasa." Chandra dapat mengetahui bahwa Rafael sangat gugup dari nada bicaranya.
"Usiaku 18 tahun, aku bisa dianggap sebagai orang dewasa."
"Baiklah jika kau ingin tahu. Kakakmu kehabisan uang karena habis digunakan untuk foya-foya dalam semalam. Dan sekarang ia menyesali perbuatannya karena tidak mampu mengatur keuangan dengan baik. Dia bilang uang itu ia kumpulkan susah payah dari awal semester dan sekarang habis tidak bersisa."
"Jadi itulah alasan Kak Rafael mengirimkan sejumlah uang ke kakakku?" tanya Chandra karena ia melihat riwayat obrolan Wanda mengirim nomor rekeningnya ke Rafael.
"Yeah, begitulah. Dia bilang uangnya akan digunakan untuk membeli bensin."
"Baiklah kalau begitu. Terima kasih ya Kak Rafael atas jawabannya. Maaf telah mengganggu waktunya." Chandra menutup panggilan telepon. Ternyata tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kakaknya. Wanda hanya kesal karena uangnya habis dan harus pulang mendadak di saat orang tuanya belum memberikan uang bulanan.
***
*bakpao telo: bakpau dengan campuran ubi ungu pada adonan rotinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inverse [END]
General FictionBerawal dari hobi stalkingnya, Wanda diperkenalkan oleh temannya kepada perwira polisi. Dari sinilah ia mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai stalker oleh pihak kepolisian. Ia diharuskan untuk melaporkan berbagai kasus yang dilihatnya untuk selanju...