Wanda melemparkan tasnya ke sembarang arah kemudian membanting dirinya di atas kasur tepat ketika ia tiba di kamar indekosnya. Sepanjang perjalanan dari rumah sakit ke indekos, Wanda berusaha keras untuk tidak menangis di atas motor ojek daring. Ia malu. Dan sekarang tangisannya pecah, tetapi suaranya dibungkam oleh bantal yang menutupi kepalanya.
Satu hal yang Wanda tahu, Rafael membencinya, untuk saat ini hingga waktu yang belum ditentukan. Ia juga menganggap semua kekacauan ini bukanlah salahnya, melainkan salah si mantan bosnya Indrina. Si koruptor brengsek keparat itu. Wanda hanya mencoba mengungkap kasus pertamanya agar mendapat pekerjaan tetapi sialnya dia malah berurusan dengan manusia setengah setan yang sekarang haus akan nyawanya dan teman-temannya.
Terkadang Wanda tidak habis pikir, mengapa bisa ada manusia yang kelakuan bejatnya melebihi setan yang notabenenya makhluk paling terkutuk yang diciptakan Tuhan. Si keparat itu selingkuh, kemudian menularkan virus mematikan pada pembantunya yang niatnya tulus ingin bekerja untuk menyambung hidup dengan dalih tidak ingin menyakiti istrinya, dan di sisi lain ia juga merupakan koruptor ulung serta pembunuh. Sial, mengapa orang seperti dia masih diberi umur panjang.
Kembali ke permasalahan utama. Hanya satu hal yang dapat memperbaiki hubungan keduanya, Wanda harus melepaskan pekerjaannya yang dinilai sangat berbahaya demi keselamatan Rafael, dan juga ketiga sahabat lainnya. Sangat jelas bahwa Wanda tak mau melakukan hal tersebut. Sejujurnya, Wanda juga tak ingin melihat mereka terluka bahkan seinci pun. Biarlah dia seorang yang menanggung semua risiko pekerjaannya.
Tangis Wanda perlahan mereda. Rambutnya terlihat kacau dengan riasan yang semakin tampak berantakan di wajahnya saat ini. Ia butuh berbicara dengan seseorang, tetapi siapa? Wanda bahkan tak memberi penjelasan kepada Selin mengapa ia pergi begitu saja, mungkin sekarang gadis itu sedang kesal dengannya. Sedangkan Deva dan Jasmin, ia yakin mereka sedang bersama Rafael dan tentu saja tidak bisa diganggu.
Terbesit sebuah nama di otaknya, memang agak gila tetapi Wanda yakin hanya dia satu-satunya orang yang dapat membantunya dalam kondisi seperti ini. Wanda mencari nomor seseorang tersebut di daftar kontak ponselnya kemudia meneleponnya. "Halo?" Sapa Wanda grogi.
"Halo," terdengar deru mesin kendaraan di seberang sana. "Mengapa suaramu bergetar? Kau baik-baik saja?"
"Saya... tidak. Apakah Anda sedang sibuk?" Wanda beralih bersandar pada lemari bajunya yang terbuat dari plastik.
"Aku sedang dalam perjalanan pulang. Sebentar lagi aku sampai di rumah."
"Bisakah Om menepikan mobilnya sebentar? Saya ingin membicarakan beberapa hal serius right now." Wanda menggigiti ujung jemarinya karena gugup.
Om Sud menepikan mobilnya di pinggir jalan setelah ia keluar dari barisan kerumunan kendaraan yang juga ingin melepas penat di rumah setelah seharian bekerja. Jarak menuju rumahnya hanya kurang dari satu kilometer lagi dan seharusnya sebentar lagi ia bisa memarkirkan mobilnya di garasi kemudian disambut oleh wedang jahe hangat buatan istrinya yang menunggunya datang di sofa ruang tamu. "Apa yang ingin kau bicarakan?" Om Sud membayangkan asap yang keluar dari cangkir perlahan menghilang karena ia telat tiba di rumah. Namun, bagaimana pun sekarang Wanda merupakan tanggung jawabnya sehingga ia harus rela meluangkan sedikit waktu untuk mahasiswa labil sepertinya.
Wanda mengambil napas dalam-dalam sebelum mengungkapkan isi pikirannya. "Saya... saya benar-benar sedang bingung. Anda pasti sudah tahu bahwa Rafael terluka ketika mencoba menghampiri indekos saya bersamaan dengan rencana penyerangan semalam..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Inverse [END]
General FictionBerawal dari hobi stalkingnya, Wanda diperkenalkan oleh temannya kepada perwira polisi. Dari sinilah ia mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai stalker oleh pihak kepolisian. Ia diharuskan untuk melaporkan berbagai kasus yang dilihatnya untuk selanju...