"Aku akan mengundurkan diri dari pekerjaan seperti yang kalian inginkan selama ini."
Pernyataan Wanda membuat Rafael hampir tersedak daging kambing yang belum terkunyah sempurna. Lelaki tersebut sudah masuk sejak Selasa kemarin tepat ketika semua perbannya sudah bisa dilepas dan hanya meninggalkan bekas lebam yang tampak samar. "That's good." Respon Rafael singkat sambil melanjutkan makan siang dengan menu tongseng kambing. Namun, otaknya berpikir apa yang merasuki Wanda hingga ia berani mengambil keputusan tersebut. Bukankah kemarin ia mengatakan pada Rafael bahwa dirinya sangat membutuhkan uang?
"Kau masih marah padaku?" Wanda memang merasa sedikit takut.
"Menurut ngana?!" Rafael menunjuk lebam pada sudut bibirnya.
"Don't be so hard on her," lerai Jasmin sebelum amarah Rafael mencapai titik puncaknya. Ia mengusap bahu sahabatnya perlahan hingga Rafael dapat kembali mengontrol emosinya.
"Sudah kubilang bahwa ini bukanlah hal yang baik, tetapi kau masih keras kepala." Gumam Deva sambil mengiris steak daging. "Dan kau malah memfasilitasinya." Tunjuknya pada Selin menggunakan pisau.
Selin hanya tertunduk, diam seribu bahasa. Kepalanya serasa ingin pecah melihat pertengkaran ini. Tak bisakah mereka menyelesaikannya secara dewasa tanpa perlu saling menyalahkan?
"Itu bukan salahnya. Ini semuanya murni kesalahanku. Aku yang memaksanya untuk bersedia menolongku, dan pada akhirnya aku melangkah terlalu jauh." Tukas Wanda membela Selin. "Maafkan aku, guys." Sesalnya kemudian, dan itu hanya merupakan sebuah akting. Ia harus nemastikan bahwa skenario yang tertulis di otaknya sejak semalam harus berjalan lancar hari ini.
"Why should I give you an apologize? You want me to pretend that there was nothing happened with this scar?"
"Karena menyalahkan Wanda sampai pita suaramu putus pun tak dapat mengubah kenyataan bahwa kau sudah terluka." Teriak Selin dengan suara melengking dan sedikit bergetar. Matanya yang biasanya terlihat kecil sekarang membesar. Tak biasanya ia menjadi seperti ini. "Dengar, kita memang tak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita masih bisa mengubah masa depan menjadi lebih baik. Wanda sudah mempunyai niat baik demi kita semua, seharusnya kita menghargai usahanya, bukan malah terus-terusan menyalahkannya." Ia sudah terlalu pusing melihat konflik di antara sahabatnya yang tak kunjung kelar dari Jumat kemarin.
"Benar apa yang dikatakan Selin." Jasmin mengangguk setuju, tangannya masih berada di bahu Rafael.
"Kau tak tahu bagaimana rasanya..."
"Ya, memang aku tidak tahu!" Tukas Selin galak. "Bisakah kau berhenti seolah menjadi manusia paling menderita di bumi ini?"
"Guys, please hentikan." Setetes air mata berhasil meluncur di pipi Wanda. Ia tak kuat lagi melihat konflik terus berlanjut dengan mempertahankan egoisme masing-masing. Ia tak suka melihat ada perselisihan di antara hubungan persahabatannya dengan mereka satu sama lain. "Aku berharap kita semua tak lagi terjebak dalam kondisi sulit akibat ulahku. Temui aku tepat pukul lima sore di belakang fakultas." Pamit Wanda sambil melangkahkan kakinya menuju kelas.
***
Sebuah mobil mewah Toyota Alphard berwarna hitam metalik terparkir di belakang fakultas. Sang empunya mobil yang saat ini juga merangkap sebagai supir mengamati aktivitas beberapa mahasiswa yang pulang lewat jalur belakang dengan jalan kaki karena jarang sekali kendaraan umum yang melewati jalur belakang fakultas. Matanya menelisik kelompok mahasiswa yang terus melewati mobilnya dengan acuh, mungkin mereka mengira itu hanya taksi daring atau seorang bos tajir yang menjemput anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inverse [END]
General FictionBerawal dari hobi stalkingnya, Wanda diperkenalkan oleh temannya kepada perwira polisi. Dari sinilah ia mendapat pekerjaan paruh waktu sebagai stalker oleh pihak kepolisian. Ia diharuskan untuk melaporkan berbagai kasus yang dilihatnya untuk selanju...