11 - Reveal

48 6 0
                                    

Hari ini Wanda sukses bangun kesiangan setelah semalam ia mengalami malam yang panjang. Dalam keadaan setengah sadar, gadis itu masih penasaran dengan siapa orang yang dengan teganya membuang bayi kecil tidak berdosa dengan kondisi mengenaskan seperti itu. Rasanya ia ingin mengutuk siapa pun orang itu saat ini bahkan ketika nyawanya belum terkumpul seratus persen.

Namun, di sisi lain Wanda merasa ini akan menjadi kasus berikutnya yang akan ia ungkap.

Setelah nyawanya terkumpul dengan sempurna, Wanda akhirnya bergegas membersihkan diri. Mencuci tumpukan pakaian kotor yang ia biarkan selama hampir seminggu. Dan tak lupa untuk membersihkan kamar indekosnya karena hari Sabtu adalah jadwalnya berberes kamar. Dengan rambut yang masih basah, gadis itu menjemur baju di balkon belakang kamarnya. Sinar matahari pukul sepuluh pagi mengenai epidermis kulitnya, rasanya hangat. Ia tak pernah khawatir dengan paparan sinar matahari karena warna kulitnya tidak memungkinkannya merasakan sunburn.

Selesai membereskan kamar, gadis itu mengeringkan rambutnya di depan cermin sambil bersenandung kecil. Namun, pikirannya dibiarkan berkeliaran di luar sana. Ia sedang memikirkan kira-kira siapa sosok yang cocok ia jadikan sebagai tempat diskusi mengenai apa yang ia alami semalam. Beberapa deretan nama muncul di benaknya. Deva, sudah cukup lelaki lembut itu mengetahui pekerjaan Wanda, gadis itu tak akan membiarkan Deva terlibat lebih jauh. Rafael, Wanda berasumsi lelaki itu masih mengalami sedikit trauma akibat cedera di lapangan bahkan saat itu masih hari pertama. Jasmin, entahlah Wanda hanya merasa ia tak cocok dijadikan tempat diskusi. Hingga nama terakhir, Selin, gadis itu merupakan salah satu problem solver terbaik dalam lingkaran pertemanan Wanda. Ia yakin gadis itu bisa menjadi tempat diskusi yang cocok dan pas.

Wanda meraih ponselnya di atas nakas yang terletak tak jauh dari cermin rias. Ia menghubungi Selin melalui aplikasi whatsapp­. "Halo, Sel. Apakah aku bisa bertemu denganmu sekarang? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan."

"Kau bisa mengatakannya di sini saja. Aku sedang berada di rumah orangtuaku di Jakarta." Ujarnya ogah-ogahan.

Wanda merapikan pengering rambutnya kembali ke tempatnya. "Tidak bisa, ini masalah serius. Aku tak mau mengambil risiko orang di rumahmu akan mendengar percakapan kita." Wanda mencoba berdiplomasi karena bagaimanapun hal ini merupakan urgensi baginya. "Atau aku perlu membawa Kak Keenan bersamaku agar kalian sekalian bisa kencan?" tawarnya.

"KAU TAK PERLU MENYERETNYA KE DALAM HAL SEPERTI INI!" teriaknya dari ujung sana dengan suara sopran nan cempreng. "Aku hanya ingin menjaga ia tetap aman. Baiklah, akan kutemui kau di Stasiun Sudirman." Akhirnya Selin setuju.

Senyum merekah sempurna di wajah Wanda. "Nah gitu, dong. Ok, aku akan bersiap dulu. Aku akan berangkat 30 menit lagi. See you there," Wanda memutuskan sambungan telepon kemudian bersiap untuk bertemu sahabatnya itu.

***

Wanda tiba di Stasiun Sudirman hampir pukul dua belas siang. Selama perjalanan dari stasiun dekat kampus hingga ke tempat tujuan gadis itu harus rela berdiri berhimpitan dengan penumpang lain yang didominasi wanita yang menurut perkiraan Wanda mereka akan turun di Stasiun Tanah Abang. Kondisi seperti ini membuat Wanda merasa mabuk, keningnya berminyak akibat ia olesi minyak angin untuk meredakan rasa tak enak itu.

Wanda melihat Selin sudah menunggunya di bangku peron tak jauh dari tempatnya turun kereta. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Wanda ketika ia berdiri di depan Selin yang sibuk memainkan ponsel.

Wajah gadis berhijab itu terangkat. "Lumayan. Wajahmu terlihat pucat." Komentarnya melihat wajah Wanda yang terlihat sayu dan lemas.

"Biasa lah, aku bertemu dengan ­mak-mak tanah abang." Jawabnya mencoba terlihat kuat. "Jadi, kita akan ngobrol di mana?"

Inverse [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang