Enam tahun berlalu setelah pertemuannya dengan gadis muda cantik berwajah polos nan teduh. Marcell menjadi bajingan kelas kakap serta nyaris menggila karena gadis itu menghilang secara tiba-tiba.
Selama itu pula ia tak pernah berhenti mencari kebera...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Marcell membuka mata dengan napas terengah-engah, dahinya bercucuran keringat serta tenggorokan yang terasa kering. Matanya melirik pada seseorang yang duduk terkantuk di sofa.
Marcell membuka mulut hendak bersuara, tapi yang keluar hanya suara bisikan yang teramat perih dan kering. Sekali lagi ia mencoba dan hasilnya tetap sama, tak ada suara yang sampai pada orang di sofa.
Marcell mungkin bisa menggunakan cara lain, tapi sayangnya hanya itu yang bisa ia lakukan karena sekujur tubuhnya terasa lemah seolah tak bertulang.
Saat ia hampir kehilangan harapan dan memilih untuk menunggu, tiba-tiba saja pintu ruangannya terbuka. Orang yang baru masuk beradu pandang dengannya dan seolah mengerti orang itu langsung berlari menghampiri sambil mendekatkan sebuah sedotan pada bibirnya.
"Terima kasih." Sebuah ucapan dari Marcell teruntuk Darwin yang telah menolongnya.
"Baguslah kamu sudah sadar. Kami semua khawatir."
"Sudah berapa lama aku di sini?" Marcell tak bertanya dimana dirinya berada karena ruangan dan selang yang menempel pada tubuhnya sudah menjelaskan dengan sangat detail.
"Tiga puluh jam. Sepertinya aku harus menghubungi Ricko, demammu sudah turun." Darwin membuka ponsel lalu mengirimkan pesan pada Ricko.
"Apa Kenan terus menjagaku?" Marcell menatap Kenan yang terkantuk di sofa.
"Iya. Dia tidak meninggalkanmu sedetik pun. Kamu beruntung, dia masih peduli padamu."
Bohong jika Marcell tak terkejut mendengar ucapan Darwin. Namun, semua berubah menjadi perasaan bahagia. Putra sematawayangnya yang selama bertahun-tahun mendiamkan dan menolak bertemu ternyata masih menyayanginya.
"Sebaiknya bersantai sejenak. Mila akan datang bersama Ricko." Darwin beranjak dari sisi Marcell lalu berpindah ke sofa yang sama dengan Kenan berada. Pergerakan kecil itu membangunkan Kenan.
"Om?" Kenan masih setengah sadar, matanya bahkan terlihat berat untuk terbuka.
"Papimu sudah sadar." Ucapan Darwin membuka penuh kedua mata Kenan. Pemuda itu menoleh pada brankar dan mendapati ayahnya tengah tersenyum.
"Papi!" Kenan berdiri kemudian menghampiri Marcell dengan cepat. "Papi tidak apa-apa, kan?"
Marcell hampir menitikan air mata melihat wajah Kenan yang menatapnya penuh kekhawatiran. Terobati sudah luka yang ditorehkan putranya itu selama bertahun-tahun.
"Papi baik-baik saja. Terima kasih sudah menjaga Papi."