1. Dunia Maya

428 9 2
                                    

Orang tua yang narsistik membuat anak mereka seolah-olah hidup dalam penjara. Anak dilahirkan hanya untuk memberi makan harapan orang tua. Mereka tidak diizinkan berkembang dan menikmati kehidupannya sendiri. Mereka hidup untuk ego orang tuanya.

Devara Almira, dua puluh tujuh tahun dan akan segera bertunangan.

Aku tidak tahu apa yang akan dia lakukan pada suaminya jika setiap hari seperti itu. Dia bahkan belum beranjak dari kursi sejak dua jam yang lalu, dengan posisi yang sama, menatap layar ponsel sambil tertawa cekikikan tapi detik berikutnya menangis tersedu-sedu, lalu tertawa kembali. Terus begitu. Dia benar-benar sudah hidup dalam kungkungan sosial media.

Namun, aku tidak mau mengolok atau mengomentari kebiasaannya, sebab hampir semua orang di dunia hari ini melakukan hal yang sama dengannya. Terlebih tidak setiap saat kami punya waktu libur seperti hari ini.

"Makan dulu!" kataku sambil meneletakkan piring berisi omelet dan potongan tomat segar ke atas meja.

Devara mengangguk tetapi pandangannya masih saja tertuju pada layar ponsel yang menampilkan video berdurasi pendek, lalu menggeser dengan jempol mungilnya. Dia bahkan sudah terlalu kurus akibat diet yang dijalaninya. Aku yakin, gaun pertunangannya akan membutuhkan banyak jahitan tambahan nantinya. Hanya saja, dia terus memaksa mengurangi berat badan. Padahal sebagai perawat harusnya dia bisa lebih realistis. Sehat jauh lebih penting alih-alih cantik dengan badan terlampau kurus.

Tanpa diet sekalipun, dengan segala kesibukannya mengurus acara kupikir berat badannya akan otomatis turun.

Devara meletakkan ponsel pintarnya, lalu mengangkat piring berisi sarapan buatanku. Dia menghirup aromanya sebentar, lalu mengiris permukaan telur dengan garpu. "Mbak Maya nggak makan?"

"Sudah," jawabku.

"Kapan?"

"Tadi. Di dapur."

"Kenapa nggak ngajak-ngajak?"

"Kamu sibuk main HP, dipanggil nggak nyahut."

Mendengar jawabanku, dia tersenyum malu-malu.

Sejujurnya, meskipun dia kadang menyebalkan tapi Devara adalah gadis yang baik dan menyenangkan. Dia telah menjadi sahabatku hampir tiga tahun, lebih tepatnya sejak aku pindah bekerja ke panti werda yang sekarang. Kami tinggal di asrama bersama para pekerja lainnya yang berada tepat di sebelah bagunan panti yang besar dan megah.

Unitku terletak bersebelahan dengan unit Devara, itulah kenapa kami sangat akrab. Dia bahkan sering datang ke kamarku, menginap dan membuatnya tampak lebih mirip adik perempuanku alih-alih sebatas teman kerja. Tidak ada yang seperti dia. Akan tetapi, aku suka. Ini mengingatkanku pada kedua adik perempuanku, Zahra dan Fahira yang tinggal di kampung. Dia bisa menggantikan kerinduanku sebagai kakak perempuan.

Bukankah ini aneh? Maksudku, saat kedua adikku ada di depan mukaku, kami hampir tak pernah akur tapi saat berjauhan dengan mereka rasanya menyedihkan. Aku merindukan keduanya. Aku bahkan berharap hari libur cepat tiba supaya bisa pulang dan bertemu mereka, tapi sayangnya, saat hari libur sungguh di depan mata aku tidak pernah menggunakannya.

Aku justru berencana memanfaatkannya untuk bertemu dengan pacarku, bersenang-senang di belakang orang tuaku. Meskipun sebenarnya tidak makan waktu lama untukku pulang, terlebih dengan kereta api nyaman, murah dan cepat seperti sekarang.

Masalahnya, di usiaku yang sudah tiga puluh tiga tahun ..., pertanyaan klasik seperti kapan kawin adalah sesuatu yang mengerikan. Tidak! Aku sama sekali tidak tersinggung lantaran aku dan Ilham memang belum mau menikah dalam waktu dekat. Dia mendukung karierku sebagai dokter, seratus persen. Lagian, Ilham juga tak mau menikahiku tanpa restu orang tua –yang sampai hari ini tidak pernah Ibu berikan. Hanya Ibu yang belum memberi lampu hijau pada kami.

Ilham yang malang selalu salah di mata Ibu. Tidak peduli seberapa baik dan tampannya dia, Ibu seolah melihatnya bagai hantu.

Aku tahu, Ilham memang tidak pernah lulus kuliah. Dia menghentikan pendidikan akuntansi yang dijalaninya pada semester 6 karena harus membantu menjalankan bisnis keluarga setelah ayahnya meninggal dunia. Namun, bukan berarti dia tidak sukses malah sebaliknya, Ilham berhasil mengembangkan usaha pertanian orang tuanya. Dia bahkan membeli banyak ladang, membangun beberapa toko pertanian dan menghidupi keluarga besarnya. Hanya saja di mata ibuku yang kolot semua itu tak ada artinya. Bagi Ibu, kesuksesan seseorang masih ditentukan oleh seragam.

Ya, seragam.

Alasan lain aku tak mau pulang adalah karena dia tak berhenti memaksa Ayah untuk mengenalkan rekan-rekan kerjanya kepadaku. Kencan buta? Perjodohan ala Siti Nurbaya? Oh, ayolah! Aku tidak butuh semua itu. Kesannya aku tidak laku. Padahal memang tidak dijual.

"Ilham jadi datang?"

Aku mengangguk, kemudian menyandarkan punggung ke bantalan sofa yang empuk. "Dia sudah dalam perjalanan sekarang."

"Naik apa?"

"Kereta."

Mendengar jawabku, Devara hanya tersenyum. "Gila sih. Gue nggak nyangka kalau Mbak Maya beneran nggak balik lagi liburan kali ini. Lebaran kemarin nggak balik, sekarang juga nggak balik . Padahal kampung halaman lo dekat, Mbak May. Masih jauhan gue, tapi gue bahkan hampir tiap liburan balik. Baru sekarang ini gue nggak balik. Itupun karena mau tunangan dan orang tua gue cerai."

"Tapi kan kondisi kita beda, Devara!"

"Iya, beda. Orang tua gue cerai setelah tiga puluh tahun menikah."

Semenjak ayahnya ketahuan selingkuh dan menceraikan sang ibu setengah tahun lalu, Devara memang menjadi agak menyebalkan. Terlebih jika membawa topik keluarga. Maklum saja, siapa yang tidak malu kalau saat menjelang pernikahan, orang tuanya justru gagal berumah tangga?

Tidak ada seorang pun yang mau keluarganya berantakan, termasuk aku. Meskipun dulu saat aku masih remaja, pada beberapa kesempatan aku berpikir untuk memisahkan Bapak dari Ibu. Terlebih jika keduanya terlibat pertengkaran. Sebagaimana kebanyakan anak perempuan, aku memang lebih dekat dengan Bapak. Dia cinta pertamaku. Itulah kenapa perselisihan antara aku dan Ibu muncul seiring menegangnya hubungan beliau dengan Bapak. Hanya saja semakin aku bertambah dewasa, aku pun paham bahwa tak semua keluarga bisa harmonis. Malah beberapa keluarga justru bisa berjalan saat tidak punya keharmonisan. Ini aneh, agak paradoks dan membingungkan. Tapi masalahnya, bahkan konsep pernikahan itu sendiri saja menurutku sudah sangat-sangat membingungkan.

"Kenapa ini? Kok malah ribut?" Mbak Anggi, penghuni lain di asrama masuk ke ruang bersantai sambil mencepol rambut panjangnya. "Suara kalian berdua kedengaran sampai kamarku. Ada masalah apa sih?"

Baik aku maupun Devara tidak menjawab. Jika dibanding dengan Mbak Anggi, kami jauh lebih muda. Kami bahkan pantas jika disebut sebagai anaknya. Itulah kenapa Mbak Anggi terpilih sebagai ketua asrama selama dua tahun berturut-turut.

Sama seperti kami, Mbak Anggi tidak pulang liburan tahun ini. Selain karena harus menjaga beberapa Oma dan Opa yang bertahan di asrama, kedua anak Mbak Anggi juga berkuliah di luar negeri. Daripada pulang ke kampung dan sendirian, alhasil dia memilih bertahan. Terlebih menurutnya akan sangat berbahaya bagiku dan Devara kalau hanya berdua di asrama, mengingat Pak Min, penjaga asrama kami hanya datang untuk bersih-bersih pada pagi hari.

Mbak Anggi benar-benar sudah mirip orang tua bagi kami.

"Oh iya, Maya, nanti temanmu jadi datang?"

Aku mengangguk. "Iya, Mbak."

"Kapan?"

"Kira-kira sore hari."

Mbak Anggi menyambar kerudung berwarna toska dengan nama panti werda kami yang dicetak tebal di gantungan sebelah pintu, lalu mengenakannya. "Aku sudah bilang ke Pak Martin, dia diizinkan menginap dua hari saja. Tidak lebih. Kamar yang paling belakang. Tapi, memang perlu dibersihkan dulu. Soalnya, sudah lama nggak ditempati. Pasti banyak debu."

"Beneran, Mbak?"

Bibir mungil Mbak Anggi tersenyum tipis, sebelum akhirnya dia meninggalkan kami.

Beruntung. Aku tidak tahu kata apa yang paling tepat untuk menggambarkan nasib baikku. Padahal biasanya, Pak Martin sangat ketat dan tak mengizinkan orang asing menginap. Meskipun tentu saja Ilham bukan orang asing, bagiku. 

Sebuah Usaha Maya {TAMAT/Revisi}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang